TARAKAN – Hutan mangrove yang selama ini menjadi penyangga alami bagi wilayah pesisir Kota Tarakan, Kalimantan Utara, menghadapi tekanan yang kian meningkat. Meski secara keseluruhan kondisi ekosistem mangrove di kota ini masih tergolong baik, alih fungsi lahan yang masif mulai mengancam daya tahan lingkungan dan kehidupan masyarakat di pesisir.
Analis Pengamanan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tarakan, Karno, mengungkapkan bahwa berdasarkan Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 3 Tahun 2021, luas ekosistem mangrove yang tercatat mencapai lebih dari 600 hektare. Namun, sekitar 30 persen dari luasan tersebut masih merupakan lahan milik perorangan, bukan aset pemerintah.
“Sebagian besar lahan itu dikuasai oleh perorangan. Karena bukan milik pemerintah, kami tidak bisa memberikan sanksi langsung atas kegiatan perambahan. Kecuali jika berada dalam aset pemerintah, maka kami bisa bertindak tegas,” terang Karno, Selasa (8/7/2025).
Alih fungsi lahan oleh masyarakat, seperti dijadikan tambak atau ditimbun untuk rencana pemukiman, banyak ditemukan di wilayah Tarakan Utara. Wilayah ini diketahui memiliki tekanan pembangunan yang tinggi, sehingga sering kali kawasan mangrove menjadi korban.
“Alih fungsi lahan ini yang jadi ancaman terbesar. Banyak yang tadinya kawasan mangrove kini berubah fungsi, terutama di wilayah Tarakan Utara yang memang memiliki tekanan pembangunan cukup tinggi,” tambahnya.
Perubahan tersebut tidak hanya berdampak pada hilangnya vegetasi mangrove, tetapi juga mengurangi fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang menjadi kewajiban kota. Mangrove yang dulunya menjadi penyerap karbon dan pelindung pantai dari abrasi kini kehilangan daya gunanya.
“Secara jumlah kawasan memang tidak berkurang, tapi secara kondisi menurun. Ini juga berpengaruh terhadap potensi abrasi pantai,” jelas Karno.
DLH Tarakan telah berupaya merespons kondisi ini melalui sosialisasi kepada masyarakat di seluruh kelurahan. Fokusnya adalah edukasi mengenai pentingnya menjaga kelestarian ekosistem mangrove sebagai bagian dari perlindungan jangka panjang bagi kawasan pesisir.
“Kita boleh saja melakukan aktivitas di pesisir, tapi tolong diperhatikan juga dampaknya. Mangrove ini sangat penting sebagai pelindung alami dari abrasi,” pungkasnya.
Di tengah perubahan iklim dan peningkatan permukiman pesisir, kerusakan mangrove dapat mempercepat kerentanan lingkungan. Warga pesisir, terutama nelayan dan pembudidaya ikan, berisiko besar menghadapi dampak abrasi, banjir rob, dan hilangnya sumber mata pencaharian bila tren ini terus dibiarkan.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan