JAKARTA – Di tengah situasi global yang sarat ketegangan geopolitik, sistem pendidikan Indonesia justru mendapat sorotan positif dari media asing. Salah satunya datang dari The Jerusalem Post, media asal Israel, yang mengangkat laporan mengenai perubahan signifikan dalam kurikulum nasional Indonesia.
Dalam artikel tersebut, The Jerusalem Post mengacu pada hasil studi terbaru yang dilakukan IMPACT-se (Institute for Monitoring Peace and Cultural Tolerance in School Education), lembaga riset dan kebijakan internasional yang berfokus pada pemantauan toleransi dalam kurikulum sekolah. Penilaian mereka menyebut Kurikulum Merdeka di Indonesia telah mengalami kemajuan berarti dalam hal inklusivitas, terutama dalam penggambaran kelompok minoritas seperti Yahudi, Israel, serta komunitas gender dan agama lainnya.
Menurut laporan IMPACT-se, buku teks nasional yang kini digunakan di berbagai sekolah di Indonesia dinilai lebih selaras dengan prinsip-prinsip pendidikan toleran yang diadopsi UNESCO. Studi ini menganalisis lebih dari 40 buku teks mata pelajaran humaniora dan membandingkannya dengan edisi sebelumnya.
“Sangat menggembirakan melihat buku teks Indonesia berada di jalur yang tegas menuju pertumbuhan inklusivitas,” ujar Marcus Sheff, CEO IMPACT-se.
Salah satu temuan penting dari laporan tersebut adalah dihapusnya narasi-narasi negatif tentang Israel dan Yahudi dalam buku pelajaran. Penekanan terhadap sikap damai dan toleransi kini diperluas dalam penyajian tema seperti jihad, yang didefinisikan tidak semata-mata dalam konteks peperangan, melainkan juga sebagai upaya menegakkan kebaikan secara damai.
Laporan juga menekankan bahwa buku teks kini menyajikan Yahudi sebagai “Ahli Kitab” yang pantas dihormati, menyebut adanya keselarasan antara Taurat dan Al-Qur’an, serta menyoroti kebijaksanaan dalam tradisi Sabat Yahudi. Bahkan, buku-buku teks agama Islam mengajarkan tentang hubungan harmonis Nabi Muhammad dengan kaum Yahudi melalui Piagam Madinah sebagai contoh perdamaian.
Selain itu, buku pelajaran Kristen juga mengalami perubahan signifikan dengan menyajikan Yesus sebagai seorang Yahudi dan menolak stereotip bahwa orang Yahudi bertanggung jawab kolektif atas kematiannya.
Yang tak kalah penting, konten berbau antisemitisme—seperti penggambaran orang Yahudi sebagai penipu atau pelaku kejahatan ekonomi—telah dihapus dari materi pelajaran. Begitu pula dengan cerita yang bersifat menyesatkan terkait uang palsu atau narasi yang menjelekkan komunitas Yahudi.
Namun demikian, laporan mencatat bahwa Holocaust belum mendapat porsi pengajaran yang memadai. Topik tersebut hanya disinggung secara singkat dalam buku Kelas 12 sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, tanpa penjelasan kontekstual yang memadai.
Kendati begitu, arah pembaruan kurikulum ini dinilai menggambarkan upaya Indonesia untuk menumbuhkan pemahaman lintas budaya dan agama di kalangan pelajar. Dengan jumlah siswa yang mencapai 58 juta, langkah ini berpotensi besar memperkuat pendidikan toleransi di tingkat akar rumput dan membangun generasi muda yang lebih terbuka terhadap keragaman.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan