Membongkar Tradisi Hadiah untuk Guru: Antara Apresiasi dan Gratifikasi

JAKARTA – Dalam suasana kenaikan kelas atau hari besar keagamaan, pemandangan orang tua murid membawa bingkisan untuk guru kerap dianggap sebagai bentuk apresiasi yang lumrah. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan peringatan tegas: praktik seperti itu dapat tergolong sebagai gratifikasi, dan jika tidak ditangani dengan bijak, berpotensi menjadi pintu masuk korupsi dalam dunia pendidikan.

Dalam pemaparan Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024, KPK mengungkap bahwa sebanyak 30 persen guru dan dosen, serta 18 persen kepala sekolah dan rektor, masih menganggap pemberian hadiah dari murid atau wali murid sebagai sesuatu yang wajar. Lebih lanjut, survei yang melibatkan hampir setengah juta responden itu menunjukkan bahwa pada 65 persen sekolah, orang tua terbiasa memberikan hadiah saat momen kenaikan kelas atau hari raya.

Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, menyatakan bahwa persoalan ini perlu menjadi perhatian serius, bukan hanya bagi KPK tetapi seluruh komponen masyarakat.

“Bagaimana mensosialisasikan gratifikasi itu, itu bukan rezeki. Harus dibedakan mana rezeki, mana gratifikasi. Jadi, selalu kita gembar-gemborkan kepada mereka: disosialisasikan, dikampanyekan oleh kita dalam bentuk formal maupun non-formal,” tegas Wawan saat menyampaikan hasil survei di Jakarta, Jumat (2/5).

Ia menambahkan bahwa pendidikan integritas harus dimulai dari lingkup terkecil, yakni keluarga. Maka dari itu, keterlibatan orang tua dalam memahami dan menolak praktik gratifikasi sangat penting.

“Ini sekali lagi bukan hanya tugas KPK. Tugas kita semua, media juga termasuk di dalamnya. Orang tua, guru, dan lain-lain, karena pendidikan yang pertama adalah di keluarga. Makanya tadi ada pendidikan keluarga, kita juga masuk ke sana,” ujarnya.

Pemerintah daerah pun turut menyuarakan dukungan terhadap upaya pemberantasan gratifikasi di sektor pendidikan. Sekretaris Inspektur Pemerintah Provinsi Jakarta, Dina Himawati, menyebutkan bahwa ASN di lingkungan pemerintah provinsi telah diberi tugas untuk menyampaikan materi pencegahan korupsi, termasuk pelaporan gratifikasi.

“Dan terkait dengan pemberian gratifikasi yang diberikan oleh murid atau orang tua murid kepada guru, ini kami juga sudah mengajarkan untuk menginformasikan, untuk melaporkan kepada Unit Pengendalian Gratifikasi, dan ini juga dilaporkan kepada KPK,” terang Dina.

Wawan menegaskan bahwa secara hukum, gratifikasi kepada guru bisa masuk kategori suap apabila berkaitan dengan jabatan dan bertentangan dengan tugasnya. Ia merujuk Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap jika berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban.

“Gratifikasi itu berbeda dengan suap. Tidak perlu ada janji atau permintaan. Jika hadiah itu diberikan karena jabatan, dan berlawanan dengan kewajiban, maka itu sudah dilarang,” katanya kepada media, Senin (5/5).

Guru dituntut untuk menjaga objektivitas dalam menilai semua siswa. Maka dari itu, jika ada pemberian hadiah menjelang pembagian rapor atau kelulusan, hal tersebut menimbulkan risiko konflik kepentingan.

Menariknya, hukum gratifikasi tidak hanya berlaku bagi ASN. Berdasarkan Pasal 1 angka (2) UU Tipikor dan Pasal 92 KUHP, cakupan hukum ini juga bisa menyentuh guru honorer maupun yang bekerja di lembaga swasta, apabila lembaga tersebut mendapat bantuan dari negara.

“Pendidikan adalah tugas negara. Guru, meski di sekolah swasta, menerima upah dari lembaga yang bisa mendapatkan fasilitas dari negara. Maka dalam konteks ini, mereka juga bisa termasuk sebagai pihak yang tidak boleh menerima gratifikasi,” jelas Wawan.

KPK menyadari bahwa tidak semua bentuk pemberian bisa digolongkan sebagai gratifikasi. Konteks dan hubungan antara pemberi serta penerima menjadi faktor penting dalam menilai suatu pemberian.

Misalnya, alumni yang telah lama lulus dan memberi hadiah sebagai bentuk empati atau rasa terima kasih personal atas jasa seorang guru, tidak serta-merta dianggap sebagai pelanggaran. Selain itu, Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2019 secara rinci mengatur jenis gratifikasi yang dikecualikan dari pelaporan, seperti dalam acara pernikahan, kelahiran, atau kematian, dengan nilai maksimal Rp1 juta per pemberi.

Namun demikian, simbolisme dalam pemberian sangat dianjurkan. “Kalau bentuknya simbolik, seperti kartu ucapan, tulisan tangan murid, atau bingkisan kecil dalam perayaan umum, biasanya itu tidak termasuk gratifikasi. Tapi jika sudah berupa barang berharga atau uang, apalagi diberikan saat momen penilaian, maka itu bisa jadi masalah,” tutur Wawan.

Untuk pemberian antar rekan kerja, batasannya juga ditetapkan: maksimal Rp300 ribu per orang dan tidak lebih dari Rp1 juta total dari pemberi yang sama dalam satu tahun. Sementara pemberian tidak terkait kedinasan hanya dibolehkan maksimal Rp200 ribu.

Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2025 menjadi momen refleksi bukan hanya soal gratifikasi, tapi juga ancaman lain terhadap integritas dunia pendidikan: kecurangan dalam Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK).

Wakil Ketua KPK, Ibnu Basuki Widodo, mengungkapkan bahwa lembaganya mendapat laporan dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi mengenai sejumlah modus kecurangan yang ditemukan dalam UTBK 2025.

“Ternyata telah ditemukan pada saat ujian masuk perguruan tinggi itu, adanya suatu kecurangan. Ini yang namanya koruptif,” ujar Ibnu dalam konferensi pers di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Jumat (2/5).

Modus yang digunakan peserta ujian pun terbilang canggih dan terorganisir. Di antaranya, menggunakan lensa tersembunyi di kacamata dan behel, serta earphone mikro yang ditanam di telinga.

“Dan itu sudah ditindaklanjuti dan ada yang tertangkap,” tegas Ibnu.

Ia mengapresiasi tindakan cepat kementerian dalam menindaklanjuti kasus tersebut. Menurutnya, pengawasan ketat terhadap ujian masuk perguruan tinggi harus terus dilakukan untuk memastikan keadilan dan kualitas seleksi nasional.

Praktik-praktik gratifikasi dan kecurangan dalam pendidikan merupakan bentuk perilaku koruptif yang dapat mencemari masa depan generasi muda. Karena itu, KPK mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu menjaga integritas lingkungan pendidikan.

“Jangan sampai murid dari keluarga mampu yang sering memberi hadiah jadi lebih diperhatikan, sementara yang tidak memberi hadiah justru diabaikan. Ini bisa merusak keadilan dan integritas dalam pendidikan,” tegas Wawan.

Pendidikan harus menjadi ruang yang adil dan setara, di mana semua siswa mendapatkan perlakuan sama berdasarkan prestasi, bukan pemberian. Apresiasi terhadap guru tetap dapat dilakukan, tetapi harus dalam koridor etika yang menjaga kehormatan profesi dan menghindari konflik kepentingan.

Dengan memperkuat pemahaman soal gratifikasi dan mendorong perilaku jujur di ruang pendidikan, Indonesia bisa melangkah lebih dekat ke masa depan yang bebas korupsi. []

Redaksi11

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com