BANJARMASIN – Kesenian wayang kulit di Indonesia tidak hanya berkembang di Pulau Jawa, tetapi juga ada di Kalimantan Selatan (Kalsel) dengan ciri khasnya sendiri, yang dikenal dengan nama Wayang Kulit Banjar. Ukuran wayang kulit Banjar cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan wayang kulit Jawa dan lebih mirip ukuran wayang kulit Bali. Selain itu, iringan gamelan dalam pementasan wayang kulit Banjar memiliki ritme yang lebih cepat dan keras, berbeda dengan musik gamelan Jawa yang umumnya lebih lembut.
Berbeda dengan wayang kulit Jawa, pertunjukan wayang kulit Banjar tidak mengenal keberadaan waranggana, yaitu para wanita yang membantu menyanyikan lagu atau gending. Gamelan yang digunakan dalam pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya terbuat dari besi, sementara gamelan wayang kulit Jawa kebanyakan menggunakan logam perunggu sebagai bahan utama.
Sejarawan Kalimantan Selatan, Wajidi Amberi, menjelaskan bahwa penonton wayang kulit di Kalsel mayoritas menonton dari belakang kelir atau tirai, sehingga mereka melihat bayangan wayang tersebut. Hal ini berbeda dengan cara penonton wayang kulit di Jawa yang lebih banyak menonton langsung dari atas panggung. “Dalam buku Urang Banjar dan Kebudayaannya (2005) disebutkan bahwa bentuk kesenian wayang di Indonesia berinduk pada kebudayaan asli Jawa, meskipun cerita yang ditampilkan disadur dari pengaruh kebudayaan Hindu,” jelas Wajidi.
Menurut Wajidi, wayang tertua adalah wayang purwa yang kemudian berkembang menjadi berbagai jenis wayang di Kalsel. Dalam hikayat Banjar tercatat bahwa seni wayang sudah dikenal sejak masa kerajaan Negara Dipa, dengan jenis pertunjukan seperti bawayang gung, manopeng, bawayang gadongan, bawayang purwa, dan babaksan. Seni wayang ini biasa dipertunjukkan di lingkungan kerajaan.
Perjalanan teater wayang kulit Banjar berlanjut dari kerajaan Negara Dipa ke kerajaan Negara Daha hingga terbentuknya kerajaan Islam Banjarmasin. Pada masa kerajaan Islam Banjarmasin, kesenian wayang kulit Banjar dengan warna lokal mulai mendapatkan tempat di hati masyarakat Banjar. Pada awalnya, sebagian masyarakat menganggap pertunjukan wayang sebagai bagian dari upacara Syamanisme. Namun seiring waktu, wayang mulai dipertunjukkan dalam acara manjagai atau menunggu pengantin setelah upacara pernikahan. Biasanya, acara bajagaan pengantin ini berlangsung selama tiga malam dengan pertunjukan seperti Mamanda dan wayang kulit Banjar.
Di masyarakat Banjar, dikenal beberapa jenis wayang berdasarkan tujuan pementasannya. Wayang Karasmin diselenggarakan untuk hiburan atau keramaian, Wayang Tahun dipertunjukkan setelah panen padi sebagai tanda syukur, sedangkan Wayang Tatamba digelar untuk merayakan keberhasilan penyembuhan sakit oleh sang dalang. Selain itu, ada pula Wayang Sampir yang berkaitan dengan acara spiritual atau hajatan/nazar. Dalam pementasan Wayang Sampir, dalang berperan sebagai pemimpin upacara yang memiliki kemampuan mengusir roh jahat yang mengganggu ketenteraman manusia. “Untuk mengusir roh jahat tersebut, yang punya hajatan harus menyiapkan sajian. Dimasukkan dalam ancak dan digantungkan di panggung pegelaran wayang,” tutup Wajidi. []
Redaksi11