Meratus Bergejolak, Tapal Batas Picu Amarah!

HULU SUNGAI TENGAH – Suara keberatan kembali menggema dari jantung Pegunungan Meratus. Warga di tiga desa di Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan, menuntut pemerintah segera mengkaji ulang keputusan batas wilayah antara Kabupaten HST dan Kotabaru yang dianggap merugikan masyarakat adat.

Desakan itu datang dari warga Desa Juhu, Aing Bantai, Batu Perahu, dan Mangga Jaya, yang menilai keputusan pembagian wilayah pada tahun 2021 silam sarat ketimpangan dan tidak berpihak pada warga lokal.

Menurut warga, hasil kesepakatan yang difasilitasi oleh Pj Gubernur Kalsel Syafrizal ZA, bersama Bupati HST saat itu, H. Aulia Oktafiandi, serta Sekda Kotabaru H. Said Akhmad, tidak merepresentasikan aspirasi masyarakat.

“Dari 34 ribu hektare wilayah yang diperselisihkan, hanya 11 ribu hektare masuk ke HST sementara 23 ribu hektare lainnya ditetapkan untuk Kotabaru. Keputusan itu diambil tanpa melibatkan masyarakat dan merambah wilayah adat kami,” ujar Junaidi, Kepala Adat Kecamatan BAT, di Barabai, Jumat (31/10/2025).

Ia menegaskan, pembagian itu tidak memiliki dasar yang kuat dan justru mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat yang selama ini menjaga hutan Meratus dari eksploitasi.

“Sejak kesepakatan itu disahkan, kami sudah berulang kali bersurat ke pemerintah kabupaten, provinsi, hingga Kemendagri untuk meminta peninjauan ulang, tapi belum ada tindakan nyata,” tambahnya.

“Kami siap menghadirkan para tokoh adat apabila ada upaya peninjauan batas wilayah yang sesungguhnya di lapangan,” tegasnya lagi.

Junaidi juga memperingatkan potensi konflik sosial yang bisa muncul akibat tumpang tindih wilayah dan ketidakjelasan status pengelolaan lahan.
Menurutnya, jika pemerintah terus menutup mata, bukan tidak mungkin gesekan horizontal akan muncul antara warga dua kabupaten.

“Kami juga mendesak agar pemerintah segera menerbitkan peraturan daerah tentang masyarakat hukum adat. Sudah belasan tahun kami ajukan, tapi belum ada titik terang,” ujarnya menambahkan.

Nada kecewa juga disuarakan oleh Rusli, warga Desa Mangga Jaya. Ia merasa masyarakat seolah dihapus dari peta ketika keputusan batas wilayah ditetapkan.

“Tahun 2007 kami sudah menunjukkan batas alam seperti sungai dan gunung kepada tim tapal batas. Tapi saat keputusan diambil 2021, masyarakat setempat tidak dilibatkan sama sekali,” ungkapnya.
“Yang paling kami sesalkan, keputusan itu seperti meniadakan kami yang tinggal dan hidup di kawasan itu,” tuturnya.

Menurut Rusli, penentuan batas itu mengabaikan fakta bahwa masyarakat lokal telah menjaga kelestarian hutan Meratus dari aktivitas perusakan dan penebangan liar selama puluhan tahun.

Sementara itu, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setdakab HST, Sahri Ramadhan, memastikan bahwa pemerintah daerah tidak menutup mata terhadap keluhan warga.

“Sesuai arahan Bupati HST, Bapak Samsul Rizal, kami sudah bersurat ke Gubernur Kalimantan Selatan untuk meminta peninjauan ulang tapal batas antara HST dan Kotabaru. Saat ini prosesnya masih berjalan,” jelasnya.

Namun, hingga kini belum ada kepastian kapan pemerintah provinsi atau pusat akan turun langsung melakukan verifikasi lapangan.

Masyarakat adat Meratus berharap suara mereka tak lagi dianggap angin lalu. Bagi mereka, tanah bukan sekadar wilayah administratif, tetapi warisan leluhur yang dijaga dengan darah dan kehidupan. []

Fajar Hidayat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com