BERAU – Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Berau (STIPER Berau) kembali menjadi sorotan menyusul mencuatnya isu merger dengan Universitas Muhammadiyah Berau (UMB). Perguruan tinggi swasta yang berdiri di atas lahan seluas 10 hektare hasil hibah Pemerintah Kabupaten Berau itu didirikan pada Tahun Akademik 2003/2004 berdasarkan SK Mendiknas RI Nomor: 115/D/O/2004 tertanggal 9 Agustus 2004. STIPER Berau berada di bawah naungan Yayasan Kharisma Mandiri dengan akta Nomor AHU-AH.01.06-0000090.
Dengan visi “Menjadi Perguruan Tinggi yang Unggul dan Terdepan dalam Pengembangan Teknologi Pertanian Tadah Hujan dan Wirausaha Agribisnis di Kalimantan Timur Tahun 2030”, STIPER Berau menyelenggarakan dua program studi, yakni Agroteknologi dan Agribisnis.
Isu penggabungan ini pertama kali mencuat sejak April 2024. Namun hingga pertengahan Juni 2025, belum ada pernyataan resmi dari pihak yayasan maupun Ketua STIPER Berau.
Mahamuddin, mantan Ketua BEM KM STIPER Berau, menyampaikan keberatan terhadap rencana tersebut. Ia menyayangkan minimnya keterlibatan civitas akademika, termasuk dosen, mahasiswa, alumni, dan mitra kerja industri, dalam proses pengambilan keputusan.
“Kami hanya ingin tahu apa urgensi dari merger tersebut dan bagaimana dengan nasib mahasiswa. Apakah ada perubahan biaya SPP? Apakah akan naik atau tetap? Lalu bagaimana masa depan karier para dosen yang saat ini sedang menempuh program kepangkatan?” ujar Mahamuddin, yang akrab disapa Diding. pada (19/06/25).
Merujuk pada Peraturan Mendikbud Nomor 7 Tahun 2020 tentang pendirian, perubahan, dan pencabutan izin PTS, Pasal 17 menyebutkan bahwa penggabungan PTS dapat dilakukan dengan dua atau lebih perguruan tinggi swasta menjadi satu entitas baru, atau penyatuan ke dalam PTS lain. Namun, proses ini sering menimbulkan keberatan, terutama jika hanya satu institusi yang dipertahankan dan tidak ada kompensasi yang memadai, seperti nilai aset yang setara.
“Secara historis, merger bukan proses mudah karena civitas akademika memiliki ikatan emosional yang kuat dengan lembaga. Apalagi, STIPER Berau tidak mengalami masalah keuangan atau pelaporan PDDikti, serta belum pernah mendapat sanksi,” lanjut Diding.
Dalam Rapat Dengar Pendapat bersama DPRD Berau pada 16 Juni 2025, Ketua STIPER Berau, Ardiansyah, mengklaim bahwa proses merger telah mencapai 90 persen. Namun pernyataan itu dibantah langsung oleh sejumlah dosen dan mahasiswa yang hadir. Mereka menyatakan tanda tangan dukungan dosen yang disertakan dalam dokumen merger tidak benar adanya.
Para dosen bahkan menunjukkan dokumen berisi tanda tangan penolakan dari civitas akademika. Mereka juga menyoroti pernyataan Ardiansyah yang, menurut pengakuan beberapa pihak, sebelumnya sering mengeluhkan kelelahan dalam mengelola STIPER Berau.
Isu merger ini diduga hanya pengalihan dari persoalan yang lebih serius, yakni adanya dugaan transaksi jual beli institusi pendidikan. Saat ini, aset STIPER Berau telah tercatat dalam daftar aset Perserikatan Muhammadiyah Berau dengan total nilai mencapai Rp65 miliar.
Keputusan ini menuai kritik keras, karena dinilai mencederai amanah para pendiri STIPER Berau. “Secara moral, tidak pantas jika aset hibah yang diperuntukkan untuk kepentingan sosial dan pendidikan dijualbelikan,” tegas sejumlah dosen dalam forum tersebut. []
Redaksi10
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan