JAKARTA – Dalam beberapa pekan terakhir, berbagai media mengungkapkan kekhawatiran terkait menurunnya minat generasi muda terhadap ilmu sains, khususnya fisika. Penurunan ini menjadi perhatian banyak pihak, terutama akademisi, karena tanpa pemahaman yang kuat terhadap sains, sebuah bangsa dianggap akan kesulitan bersaing di era teknologi saat ini.
Wiwit Suryanto, Wakil Dekan Bidang Penelitian dan Kerjasama FMIPA Universitas Gadjah Mada (UGM), mengungkapkan bahwa ada berbagai faktor yang menyebabkan menurunnya minat siswa terhadap sains. Salah satunya adalah metode pengajaran yang kurang menarik. Menurutnya, sistem pendidikan yang lebih fokus pada hafalan rumus dan teori, tanpa memberikan pengalaman eksplorasi yang cukup, menyebabkan siswa kesulitan memahami konsep sains. “Kurangnya eksperimen dan praktik langsung membuat sains terasa abstrak dan sulit dipahami,” ujarnya, dikutip oleh beritaborneo.com dari website berita UGM, Jumat (21/03/2025).
Lebih lanjut, Wiwit menyebutkan bahwa banyak siswa merasa sains tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari. Mereka jarang melihat kaitan antara sains dan teknologi yang digunakan sehari-hari, seperti smartphone atau kendaraan listrik. Hal ini membuat mereka tidak dapat melihat manfaat langsung dari belajar sains, yang kemudian mengurangi motivasi untuk mempelajarinya. “Banyak siswa merasa takut dengan simbol, angka, dan persamaan matematika yang kompleks,” jelasnya.
Padahal, sains dapat menjadi bidang yang sangat menarik jika disampaikan dengan cara yang tepat. Wiwit memberi contoh bahwa Michael Faraday, bapak elektromagnetik, bukanlah seorang jenius matematika, melainkan seorang yang suka bereksperimen di laboratorium. Sayangnya, kurangnya figur inspiratif di bidang sains, yang jarang tampil di media, menjadi salah satu penyebab mengapa generasi muda tidak tertarik mempelajari sains. “Kita perlu lebih banyak ilmuwan yang ditampilkan di media,” tambahnya.
Dampak dari menurunnya minat terhadap sains bisa sangat besar, salah satunya adalah ketergantungan Indonesia pada teknologi asing. Tanpa ilmuwan dan insinyur yang kompeten, Indonesia hanya akan menjadi konsumen teknologi, bukan produsen. “Negara akan semakin bergantung pada teknologi impor, yang dapat menghambat kemandirian dan daya saing nasional,” kata Wiwit.
Menurutnya, untuk mengatasi masalah ini, kurikulum pendidikan di Indonesia perlu disesuaikan agar lebih menarik minat siswa terhadap sains. Salah satu solusi yang dia tawarkan adalah mengubah cara mengajar dari metode hafalan menjadi eksplorasi, serta meningkatkan pembelajaran berbasis eksperimen dan proyek nyata. Penggunaan teknologi digital, seperti simulasi, augmented reality, dan coding interaktif, juga dapat menjadi solusi efektif. “Selain itu, kunjungan ke industri dan kolaborasi dengan perusahaan teknologi dapat membantu siswa melihat relevansi sains dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Pentingnya menghadirkan role model ilmuwan dan inovator Indonesia yang sukses di bidang sains juga menjadi salah satu cara untuk menginspirasi generasi muda. Wiwit menambahkan, program mentorship dan seminar inspiratif tentang karier di bidang sains dapat memperbaiki minat generasi muda untuk mendalami sains.
Di tengah persaingan global yang semakin ketat, generasi muda Indonesia perlu dibekali dengan pemahaman yang kuat tentang sains agar tidak tertinggal dalam inovasi teknologi. Sebagai bangsa, kita harus siap menjadi produsen teknologi, bukan hanya konsumen. []
Redaksi03