Mogok Makan, Tolak Mati

TEHERAN – Aksi mogok makan para tahanan di Penjara Ghezel Hesar, Karaj, yang berlangsung dua hari terakhir, menyingkap wajah kelam sistem peradilan Iran yang semakin keras menekan warganya sendiri. Di negeri yang mengklaim menjunjung keadilan Islam, ratusan tahanan kini melawan dengan cara paling sunyi: menolak makan. Protes ini meledak setelah sekitar 16 narapidana dipindahkan ke sel isolasi menjelang eksekusi mati sebuah isyarat bahwa nyawa mereka tinggal menghitung hari.

Menurut laporan Iran Human Rights (IHR) yang berbasis di Norwegia dan Human Rights Activists News Agency (HRANA) yang berbasis di AS, aksi dimulai sejak Senin (13/10) dan berpusat di unit 2 penjara tersebut. “Para tahanan di unit 2 menolak jatah makanan dan duduk di lorong penjara sejak Senin, serta mendapat dukungan dari penghuni blok lainnya,” tulis laporan kedua organisasi itu, Rabu (15/10/2025).

Video yang diunggah oleh IHR menunjukkan tahanan berbaris di koridor sempit sambil meneriakkan slogan “tidak untuk eksekusi.” Sementara di luar tembok penjara, keluarga mereka berdiri menantang panas dan ketakutan di depan gerbang, menuntut pemerintah menghentikan praktik hukuman mati.

Namun hingga Rabu pagi, situasi di dalam penjara belum dapat dipastikan. Keterbatasan akses informasi menandakan betapa tertutupnya sistem pemasyarakatan Iran terhadap pengawasan publik bahkan ketika ribuan nyawa dipertaruhkan.

Menurut data IHR, Iran telah mengeksekusi 1.128 orang sepanjang tahun ini, jumlah tertinggi sejak 2008. Angka tersebut menempatkan Iran di posisi kedua dunia setelah China dalam pelaksanaan hukuman mati. Ironisnya, pemerintah Iran terus menyebut hukuman gantung sebagai “alat penegakan hukum dan moral,” sementara dunia menilainya sebagai alat represi politik yang sah dilegalkan negara.

Kelompok oposisi National Council of Resistance of Iran (NCRI) sayap politik dari People’s Mujahedin (MEK) mengklaim bahwa sekitar 1.500 tahanan ikut dalam aksi mogok makan ini. Namun, angka tersebut belum dapat diverifikasi secara independen. NCRI juga melaporkan bahwa pejabat penjara sempat menemui perwakilan tahanan dan meminta mereka mengakhiri protes. Para tahanan menolak, menegaskan bahwa aksi akan berlanjut sampai “nyawa tak lagi dijadikan alat teror negara.”

Dalam sebuah pernyataan yang beredar di media sosial, para tahanan menulis, “Kesabaran kami telah habis atas semua penindasan dan perampasan nyawa para tahanan dan anak muda. Setiap hari dan setiap minggu, kami menyaksikan rekan-rekan kami dikirim ke tiang gantung. Banyak dari kami melewati malam dengan mimpi buruk tentang kematian dan tali gantung.”

Penjara Ghezel Hesar dikenal sebagai “pabrik kematian” di Iran tempat di mana eksekusi dilakukan nyaris rutin. Dalam beberapa bulan terakhir, kasus eksekusi profil tinggi terjadi di sini, termasuk Babak Shahbazi, yang dituduh sebagai mata-mata Israel setelah perang Juni lalu, serta dua anggota MEK, Behrouz Ehsani dan Mehdi Hassan, yang dieksekusi pada Juli.

Meski kecaman internasional terus mengalir, pemerintah Iran tetap bersikap defensif. Media milik negara, seperti Fars News Agency, menyebut laporan-laporan tersebut sebagai “kampanye kebohongan” yang digerakkan oleh media “kontrarevolusioner.” Sedangkan Mizan, kantor berita resmi kehakiman, menyatakan bahwa “para narapidana telah dieksekusi setelah menjalani seluruh proses hukum,” sambil menuding pihak asing berusaha “mencemarkan nama baik sistem peradilan Iran.”

Klaim itu terdengar ironis ketika di dalam penjara, manusia harus menolak makan demi mempertahankan hak hidupnya. Di negeri yang sering berbicara tentang martabat, keadilan tampak hanya milik mereka yang berkuasa, bukan yang terbelenggu. Aksi mogok makan di Ghezel Hesar bukan sekadar protes—itu adalah jeritan terakhir dari manusia yang dipaksa memilih antara kelaparan atau kematian di tiang gantung. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com