Nunukan Krisis Fasilitas, PMI Sakit Tak Terurus

NUNUKAN – Lonjakan kedatangan Pekerja Migran Indonesia (PMI) hasil deportasi dari Malaysia kembali menimbulkan persoalan serius di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Sebagian besar PMI tiba dalam kondisi kesehatan yang mengkhawatirkan, bahkan ada yang mengidap penyakit menular dan kronis.

Kondisi ini membuat Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DSP3A) Nunukan kewalahan. Pasalnya, Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC), yang selama ini dijadikan tempat penampungan sementara, tidak dilengkapi fasilitas medis maupun tenaga kesehatan.

“RPTC bukanlah tempat perawatan. Kami hanya dapat menampung mereka untuk sementara, karena memang bukan difungsikan sebagai rumah sakit,” ujar Kepala DSP3A Nunukan, Faridah Ariyani, Rabu (30/4/2025) sore.

Faridah menjelaskan bahwa pihaknya telah berupaya memberikan akses BPJS Kesehatan kepada para PMI. Namun, keterbatasan anggaran dan tidak adanya rumah singgah yang dilengkapi fasilitas medis menyebabkan pelayanan tidak maksimal.

Permasalahan kian kompleks ketika sejumlah PMI yang terlantar menumpang di rumah warga tanpa melapor kepada ketua rukun tetangga (RT). Hal ini, menurut Faridah, menyulitkan proses pendataan, pengawasan, dan penanganan lebih lanjut.

“Kami sangat berharap RT aktif mendata dan mengawasi siapa saja yang tinggal di wilayahnya. Jika ada yang sakit, segera laporkan sebelum kondisinya memburuk,” tegasnya.

Bagi PMI terlantar yang berhasil diidentifikasi dan memiliki keluarga, DSP3A memfasilitasi proses pemulangan serta program revitalisasi sosial. Sementara itu, mereka yang tidak memiliki keluarga akan dirujuk ke panti sosial seperti panti jompo yang ada di wilayah Kaltara.

Namun, ironisnya, ketika PMI meninggal dunia, DSP3A harus ikut menangani pemakaman meski tidak memiliki anggaran khusus. Selama ini, biaya pemakaman dibantu oleh Baznas, komunitas paguyuban, kelompok adat, maupun donatur.

“Untuk jenazah napi saja kami para pegawai harus patungan karena tak ada pos anggaran pemakaman. Itulah realitas yang kami hadapi. Peran serta masyarakat sangat kami butuhkan,” ungkap Faridah.

Ia juga menekankan pentingnya mempertahankan program revitalisasi sosial dan bantuan bagi warga terlantar, yang dinilai sebagai kebutuhan mendesak serta tanggung jawab bersama. Faridah berharap agar semua pihak dapat bergotong-royong untuk menciptakan sistem yang lebih baik dalam menangani masalah ini. Tanpa adanya kolaborasi yang solid antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait, ia khawatir masalah ini akan terus berlanjut dan semakin rumit.

“Bantuan yang kami terima dari Baznas, paguyuban, kelompok adat, dan para donatur sangat berarti. Tetapi, kita harus lebih memperhatikan kebutuhan ini secara menyeluruh dan berkelanjutan. Kami tidak bisa bekerja sendiri,” ujar Faridah.

Pemerintah daerah, menurutnya, perlu memberikan perhatian lebih terhadap fasilitas medis dan tempat singgah yang memadai. Ini demi memastikan bahwa PMI yang terdeportasi dapat mendapat perlindungan yang layak dan pengobatan yang cepat dan tepat. Program revitalisasi sosial dan pemulihan bagi mereka yang terlantar harus menjadi prioritas bersama.

“Masih banyak warga yang membutuhkan perlindungan. Pemerintah memang memiliki kewajiban, tetapi kami tidak bisa bekerja sendiri. Kami sangat membutuhkan dukungan dari semua pihak,” tuturnya.[]

Redaksi12

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com