Papua hingga Jawa Timur, Darurat Pernikahan Usia Dini

JAKARTA – Pernikahan anak kembali menjadi sorotan setelah viralnya video pernikahan dua remaja di Desa Beraim, Lombok Tengah. Kasus ini mencerminkan belum tuntasnya tantangan implementasi kebijakan dalam menekan praktik perkawinan usia dini di Indonesia.

Meskipun Indonesia telah memiliki regulasi yang lebih tegas melalui perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019, praktik dispensasi nikah masih terjadi secara masif. United Nations Children’s Fund (UNICEF) mencatat, pada 2023, terdapat 25,53 juta anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun, menjadikan Indonesia negara keempat tertinggi dalam jumlah pernikahan anak di dunia.

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menekankan pentingnya konsistensi dalam penerapan kebijakan pencegahan perkawinan anak. Ia menyatakan bahwa tantangan utama bukan terletak pada kekurangan aturan, melainkan pada pemahaman dan penerapan di lapangan.
“Sejumlah kebijakan terkait pencegahan pernikahan usia dini sebenarnya sudah tersedia, pekerjaan rumah yang harus segera dilakukan adalah pemahaman para pemangku kepentingan dan masyarakat terkait implementasi sejumlah kebijakan tersebut,” kata Lestari, dikutip dari Detiknews, Selasa (14/1).

Fakta di lapangan menunjukkan masih banyaknya permohonan dispensasi pernikahan yang dikabulkan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat 65 ribu permohonan dispensasi nikah pada 2021 dan 55 ribu pada 2022. Data dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menunjukkan bahwa selama 2019-2023, sekitar 95 persen permohonan dispensasi dikabulkan, sepertiga di antaranya karena kehamilan sebelum menikah.

Jawa Timur tercatat sebagai salah satu wilayah dengan jumlah dispensasi tertinggi. Pengadilan Tinggi Agama Surabaya menerima 15.212 pengajuan dispensasi pada 2022, 80 persen di antaranya disebabkan kehamilan di luar nikah.
“Ponorogo itu sebenarnya rendah bila melihat dari data PTA Surabaya dan itu fenomena gunung es. Dari 15.212 putusan diska di tahun 2022, 80 persen karena pihak perempuan sudah hamil duluan,” ujar Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Timur, Maria Ernawati, Selasa (17/1).

Pemerhati anak Retno Listyarti menyoroti lemahnya edukasi kesehatan reproduksi sebagai faktor utama terjadinya pernikahan usia dini.
“Pendidikan kesehatan reproduksi secara sinergi dapat dilakukan pada anak-anak oleh guru di lingkungan sekolah dan orangtua di lingkungan keluarga, semua harus berkolaborasi mencegah karena mencegah lebih baik daripada mengobati,” jelasnya, Jumat (13/1).

Fenomena serupa juga ditemukan di Papua. Data Wahana Visi Indonesia (WVI) menunjukkan bahwa hampir seperempat anak menikah sebelum usia 19 tahun, bahkan terdapat kasus pernikahan pada usia 10 tahun. Kabupaten Asmat menjadi wilayah dengan angka tertinggi, yakni mendekati 30 persen.
“Anak dianggap sebagai jawaban untuk keluar dari problem kemiskinan yang ada,” kata peneliti WVI, Agustinus Agung, Selasa (14/9).

Peneliti IPB, Dina Nurdiawati, menambahkan bahwa faktor pendidikan rendah, tekanan ekonomi, budaya, dan tafsir agama turut mendorong praktik ini.
“Banyak orang tua yang merasa, dengan menikahkan anaknya mereka menjadi terbantu secara ekonomi. Hal itu dikarenakan sudah ada yang memberi nafkahi anaknya, jadi bukan tanggung jawab mereka lagi sebagai orang tua,” ujar Dina, Jakarta (24/4).

Akibatnya, anak sering diposisikan sebagai beban atau solusi atas persoalan ekonomi keluarga. Dampak buruk dari pernikahan dini pun tak bisa dihindari. Menurut UNICEF, komplikasi kehamilan dan persalinan menjadi penyebab kematian tertinggi kedua bagi remaja perempuan usia 15–19 tahun. Selain itu, mereka empat kali lebih mungkin putus sekolah dan rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Staf Ahli Menteri PPPA, Titi Eko Rahayu, mengingatkan bahwa pernikahan usia anak memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap masa depan bangsa.
“Tidak hanya memberikan dampak secara fisik dan psikis bagi anak-anak, perkawinan di usia anak juga dapat memperparah angka kemiskinan, stunting, putus sekolah hingga ancaman kanker serviks/kanker rahim pada anak,” katanya, Jumat (27/1).

Namun, di tengah tantangan tersebut, ada wilayah yang mampu menjadi contoh praktik baik. Kabupaten Maros di Sulawesi Selatan berhasil menurunkan angka dispensasi nikah secara signifikan melalui regulasi daerah dan program-program berbasis komunitas.
“Sebab situasi atau penyebab perkawinan anak berbeda tiap wilayahnya, maka kami di Maros telah menyusun Strategi Daerah (Strada) PPA dengan mengacu pada stranas, sehingga penurunan angka perkawinan anak dapat turun dengan cepat, terbukti data dispensasi kita yang terakhir alhamdulillah tersisa 10,” ujar Bupati Maros, HAS Chaidir Syam.

Program seperti Kabupaten Layak Anak dan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) menjadi bukti nyata bahwa pendekatan berbasis lokal mampu menekan praktik pernikahan dini. Langkah ini selaras dengan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) yang mencakup lima fokus utama: penguatan kapasitas anak, lingkungan pendukung, akses layanan, penguatan regulasi, dan koordinasi antarpemangku kepentingan.

Pemerintah menargetkan angka pernikahan anak turun menjadi 6,94 persen sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Namun, keberhasilan pencapaian target tersebut sangat bergantung pada komitmen dan keterlibatan semua pihak, baik pusat maupun daerah. [] Adm04

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
X