Oleh: Nursiah | 251003741020825
Mahasiswi Magister Kenotariatan | Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
ABSTRAK
Secara doktrinal, akta jaminan dikualifikasikan sebagai perjanjian accessoir yang bersifat sekunder terhadap perjanjian pokok. Namun dalam praktik perbankan dan pembiayaan, posisi akta jaminan justru kerap menjadi sentral karena menjadi fokus utama ketika terjadi wanprestasi. Kondisi ini menimbulkan paradoks: secara teori jaminan hanya pelengkap, tetapi secara faktual justru menjadi alat paling menentukan nasib debitur, terutama debitur kecil yang memiliki posisi tawar lemah. Artikel ini bertujuan menganalisis paradoks tersebut dan menawarkan desain regulasi yang lebih berpihak pada keseimbangan kepentingan antara kreditor dan debitur. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, konseptual, dan pendekatan kasus. Analisis menunjukkan bahwa konstruksi regulasi jaminan kebendaan di Indonesia masih sangat kreditor-sentris, tampak dari dominasi klausula baku, kemudahan eksekusi jaminan, dan minimnya instrumen kontrol terhadap praktik eksekusi. Artikel ini mengusulkan rekonstruksi desain regulasi melalui: penguatan asas keadilan kontraktual, standardisasi klausula minimum perlindungan debitur, mekanisme pengawasan eksekusi jaminan, serta perlakuan khusus bagi debitur kecil. Dengan demikian, sifat sekunder akta jaminan tidak lagi berhenti pada tataran teoritik, tetapi tercermin dalam praktik yang lebih adil dan berkeadilan sosial.
PENDAHULUAN
Dalam hukum perdata Indonesia, akta jaminan – baik berupa hak tanggungan, fidusia, gadai, hipotek, maupun bentuk jaminan kebendaan lainnya – secara klasik diposisikan sebagai perjanjian accessoir yang bersifat sekunder terhadap perjanjian pokok. Perikatan utama lahir dari perjanjian kredit atau perjanjian pembiayaan, sedangkan jaminan hanya ditempatkan sebagai sarana untuk menjamin pelaksanaan kewajiban debitur. Doktrin ini merujuk pada asas accessorium sequitur principale yang menegaskan bahwa jaminan mengikuti nasib perikatan pokok: hapusnya perikatan pokok mengakibatkan hapusnya jaminan, bukan sebaliknya.
Namun, dalam praktik hubungan kontraktual antara lembaga keuangan dan debitur, terutama debitur kecil, posisi akta jaminan mengalami pergeseran fungsi. Ketika terjadi wanprestasi, fokus utama penyelesaian sengketa justru bertumpu pada eksekusi jaminan, bukan pada rekonstruksi atau renegosiasi perjanjian pokok. Akta jaminan menjadi pintu masuk bagi kreditor untuk secara cepat dan efektif mengeksekusi harta kekayaan debitur, sementara ruang perlindungan bagi debitur kerap kali sangat terbatas.
Paradoks inilah yang menjadi titik berangkat artikel ini: bagaimana mungkin suatu instrumen yang secara teoritis hanya bersifat “pelengkap” justru menjadi faktor paling menentukan bagi keberlangsungan hidup ekonomi debitur, terutama kelompok rentan? Apakah desain regulasi yang ada saat ini secara tidak langsung justru menempatkan akta jaminan sebagai instrumen primer dalam praktik? Jika demikian, rekonstruksi seperti apa yang diperlukan agar terjadi keseimbangan antara kepastian bagi kreditor dan keadilan bagi debitur?
Artikel ini akan mengurai persoalan tersebut secara sistematis, dengan menempatkan konsep akta jaminan sebagai perjanjian accessoir sebagai pijakan teoritik, kemudian membandingkannya dengan desain regulasi positif dan praktik empirik, sebelum berujung pada tawaran rekonstruksi desain regulasi.
RUMUSAN MASALAH
Artikel ini merumuskan dua masalah pokok sebagai berikut:
- Bagaimana paradoks kedudukan akta jaminan sebagai instrumen sekunder dalam teori, tetapi menjadi instrumen primer dalam praktik, terutama terhadap debitur kecil?
- Bagaimana seharusnya desain regulasi akta jaminan dibangun agar menghindari paradoks tersebut dan memberikan perlindungan yang lebih proporsional bagi debitur kecil tanpa mengabaikan kepastian bagi kreditor?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan karakter deskriptif-analitis. Pendekatan yang digunakan meliputi:
- Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dengan mengkaji ketentuan dalam KUHPerdata, undang-undang khusus jaminan kebendaan (misalnya UU Hak Tanggungan, UU Jaminan Fidusia), serta peraturan pelaksananya.
- Pendekatan konseptual (conceptual approach), dengan menelaah doktrin mengenai perjanjian pokok dan perjanjian accessoir, asas kebebasan berkontrak, keadilan kontraktual, serta perlindungan terhadap pihak lemah.
- Pendekatan kasus (case approach), melalui analisis praktik eksekusi jaminan dan putusan-putusan pengadilan yang relevan (misalnya putusan terkait eksekusi fidusia dan hak tanggungan), khususnya yang menyentuh isu perlindungan debitur.
Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan), bahan hukum sekunder (buku, artikel ilmiah, hasil penelitian), serta bahan hukum tersier (kamus hukum, ensiklopedia). Analisis data dilakukan secara kualitatif melalui tahapan deskripsi, interpretasi, evaluasi, dan sistematisasi untuk merumuskan argumentasi dan rekomendasi.
KERANGKA TEORI
1. Akta Jaminan sebagai Perjanjian Accessoir
Dalam teori perikatan, dikenal pembedaan antara perjanjian pokok (principal agreement) dan perjanjian tambahan (accessoir). Perjanjian pokok melahirkan hubungan utang-piutang, sementara perjanjian tambahan berfungsi memperkuat pelaksanaan perikatan tersebut. Akta jaminan – baik kebendaan maupun perorangan – diletakkan dalam kategori kedua.
Sifat accessoir ini membawa beberapa konsekuensi:
- Tidak dapat berdiri tanpa adanya perjanjian pokok.
- Keberlakuan dan hapusnya tergantung pada nasib perjanjian pokok.
- Fungsinya terbatas sebagai alat pengaman pelunasan utang.
Secara teoritik, hal ini seolah menempatkan akta jaminan dalam posisi “sekunder”, baik secara substansi maupun urgensi. Namun, sebagaimana akan diuraikan, praktik menunjukan situasi berbeda.
2. Keadilan Kontraktual dan Perlindungan Pihak Lemah
Doktrin kebebasan berkontrak memberi ruang luas bagi para pihak untuk menentukan isi perjanjian. Namun, dalam relasi yang timpang – misalnya antara lembaga keuangan dan debitur kecil – kebebasan ini sering kali berubah menjadi dominasi pihak yang kuat. Oleh karena itu, konsep keadilan kontraktual menuntut adanya mekanisme korektif agar kontrak tidak menjadi sarana eksploitasi.
Keadilan kontraktual berkaitan erat dengan:
- Transparansi informasi,
- Keseimbangan hak dan kewajiban,
- Larangan klausula yang sangat merugikan salah satu pihak,
- Tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa yang fair.
Dalam konteks akta jaminan, isu keadilan kontraktual muncul ketika klausula-klausula baku secara sistematik menguatkan posisi kreditor, sementara hampir seluruh risiko dan biaya dibebankan kepada debitur.
3. Debitur Kecil sebagai Subjek Rentan
Debitur kecil – yang dapat berupa rumah tangga, usaha mikro dan kecil, atau individu dengan kemampuan negosiasi terbatas – umumnya memiliki ciri:
- Tidak memahami kompleksitas kontrak dan akta,
- Bergantung pada lembaga keuangan untuk akses permodalan,
- Tidak memiliki pilihan selain menerima klausula baku,
- Sangat terdampak oleh eksekusi jaminan karena menyentuh aset produktif utama atau tempat tinggal.
Posisi rentan ini menuntut adanya perlakuan regulatif yang lebih protektif agar jaminan tidak berubah menjadi instrumen pemiskinan struktural.
PEMBAHASAN
A. Paradoks Kedudukan Akta Jaminan: Sekunder dalam Teori, Primer dalam Praktik
Secara doktrinal, akta jaminan selalu ditempatkan sebagai instrumen accessoir yang kedudukannya bergantung pada perjanjian pokok. Dalam kerangka teori perikatan, perjanjian kredit atau perjanjian pembiayaan dipahami sebagai perjanjian pokok yang melahirkan hubungan utang-piutang, sedangkan akta jaminan hanya dimaksudkan sebagai pengaman apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya. Paradoks mulai tampak ketika konstruksi teoritik ini dikonfrontasikan dengan praktik pembiayaan di lapangan.
Dalam praktik perbankan dan lembaga pembiayaan, analisis kelayakan kredit sering kali lebih bertumpu pada kecukupan nilai jaminan dibandingkan pada prospek usaha atau kemampuan bayar debitur. Jaminan ditempatkan sebagai “jangkar” utama pengamanan risiko, sehingga keberadaan akta jaminan menjadi sangat sentral sejak awal proses pembiayaan. Ketika terjadi wanprestasi, fokus penyelesaian pun cenderung diarahkan pada realisasi jaminan, bukan pada upaya-upaya kreatif untuk menyesuaikan atau merestrukturisasi perjanjian pokok. Dengan demikian, meskipun secara teoritis disebut sekunder, secara faktual akta jaminan menjadi titik berat hubungan hukum para pihak.
Paradoks ini terasa semakin tajam pada konteks debitur kecil. Objek jaminan yang dieksekusi kerap merupakan satu-satunya aset produktif, seperti alat kerja, kendaraan untuk mencari nafkah, atau bahkan rumah tinggal. Eksekusi jaminan tidak lagi sekadar menyelesaikan sengketa perdata, melainkan memutus mata rantai ekonomi keluarga dan mempengaruhi keberlangsungan hidup debitur. Dalam situasi seperti ini, sulit untuk mempertahankan klaim bahwa akta jaminan “sekadar pelengkap”, karena dampak sosial-ekonominya justru jauh lebih besar dibandingkan substansi perjanjian pokok itu sendiri.
Paradoks tersebut mengindikasikan adanya ketidaksinkronan antara desain normatif dan realitas praktik. Di satu sisi, hukum kontrak tetap mempertahankan konstruksi bahwa jaminan hanya mengikuti nasib perikatan pokok. Di sisi lain, praktik pembiayaan dan pola penyelesaian sengketa justru memperlakukan akta jaminan sebagai instrumen utama yang menentukan nasib debitur. Ketidaksinkronan inilah yang menuntut pembacaan ulang terhadap kedudukan akta jaminan dalam sistem hukum positif Indonesia.
B. Kelemahan Desain Regulasi yang Terlalu Kreditor-Sentris
Paradoks kedudukan akta jaminan tidak dapat dilepaskan dari karakter regulasi yang cenderung memberi penekanan besar pada kepentingan kreditor. Pengaturan mengenai jaminan kebendaan di Indonesia pada umumnya fokus pada aspek formil, prosedural, dan kepastian eksekusi. Akta harus dibuat secara otentik, jaminan harus didaftarkan, dan sertifikat yang terbit diberi kekuatan sebagai titel eksekutorial. Seluruh rancangan ini dirancang untuk menjamin keamanan kreditur, tetapi belum secara memadai mengintegrasikan perspektif keadilan bagi debitur.
Dalam praktik, isi akta jaminan hampir selalu disusun berdasarkan klausula baku yang berasal dari kreditor. Debitur, khususnya debitur kecil, hampir tidak memiliki ruang negosiasi. Mereka menerima paket perjanjian kredit berikut akta jaminan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat diubah. Di dalam akta tersebut lazim ditemukan klausula-klausula yang mengalihkan hampir seluruh risiko kepada debitur, memperkuat posisi kreditor dalam hal wanprestasi, serta memberikan kewenangan sangat luas untuk melakukan eksekusi jaminan. Ketiadaan standar klausula perlindungan minimum memperbesar potensi ketidakseimbangan.
Kemudahan eksekusi yang diberikan oleh hukum positif juga memperkuat karakter kreditor-sentris. Titel eksekutorial pada jaminan kebendaan dimaksudkan untuk mempersingkat proses penagihan, namun tanpa mekanisme korektif yang memadai, kemudahan tersebut dapat bergeser menjadi sarana pemaksaan yang menempatkan debitur dalam posisi tidak berdaya. Di banyak kasus, debitur tidak memahami secara utuh konsekuensi penandatanganan akta jaminan, termasuk bahwa objek yang dijaminkan dapat segera dieksekusi tanpa melalui pemeriksaan perkara secara penuh di pengadilan.
Kelemahan lainnya adalah ketiadaan pembedaan perlakuan antara debitur besar dan debitur kecil. Regulasi jaminan memperlakukan semua subjek hukum secara formal setara, padahal secara sosiologis dan ekonomis keduanya berada dalam posisi yang sangat berbeda. Perusahaan besar dengan tim hukum dan kapasitas negosiasi yang kuat tentu berada dalam posisi yang jauh lebih aman dibandingkan individu atau pelaku usaha mikro. Ketika hukum mengabaikan disparitas ini, yang muncul bukan kesetaraan, melainkan reproduksi ketimpangan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa desain regulasi jaminan kebendaan saat ini masih cenderung berat sebelah. Ia mengedepankan kepastian bagi kreditor, namun belum cukup sensitif terhadap kebutuhan perlindungan substantif bagi debitur, terutama debitur kecil yang berada pada posisi tawar sangat lemah.
C. Arah Rekonstruksi Desain Regulasi
Untuk mengoreksi paradoks dan ketimpangan tersebut, diperlukan rekonstruksi desain regulasi akta jaminan yang secara eksplisit mengintegrasikan dimensi keadilan kontraktual dan perlindungan pihak lemah. Rekonstruksi ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi kepastian hukum bagi kreditor, tetapi untuk menyeimbangkannya dengan perlindungan yang layak bagi debitur.
Langkah pertama yang perlu ditempuh adalah penguatan asas keadilan dalam pengaturan jaminan kebendaan. Asas ini harus diposisikan tidak sekadar sebagai asas abstrak, tetapi sebagai pedoman penafsiran dan pelaksanaan akta. Hakim perlu diberi ruang normatif yang tegas untuk mengoreksi klausula yang secara nyata menimbulkan ketidakseimbangan ekstrem. Penegasan seperti ini akan membantu mengubah cara pandang bahwa akta jaminan adalah dokumen “tak tersentuh” hanya karena berwujud akta otentik.
Selanjutnya, regulasi perlu memuat pengaturan mengenai standar minimum perlindungan debitur. Standar ini dapat berupa kewajiban penyampaian informasi yang jelas dan mudah dipahami sebelum penandatanganan akta, pengaturan kewajiban upaya restrukturisasi atau renegosiasi sebelum eksekusi, serta pembatasan terhadap klausula-klausula yang secara substansial menghapus hak debitur untuk membela diri. Dengan adanya standar minimum, ruang kreasi kreditor dalam menyusun klausula tetap ada, tetapi dipagari oleh prinsip non-eksploitasi.
Rekonstruksi juga perlu menjangkau tahap eksekusi. Eksekusi jaminan yang berbasis titel eksekutorial hendaknya tetap dipertahankan demi kepastian hukum, tetapi disertai mekanisme pengawasan. Misalnya, kreditor diwajibkan memberikan pemberitahuan tertulis yang jelas, debitur diberi kesempatan dalam jangka waktu tertentu untuk mengajukan keberatan atau mencari solusi alternatif, dan pelaksanaan penjualan jaminan diawasi agar tidak terjadi undervaluation yang merugikan debitur. Dengan cara ini, kemudahan eksekusi tidak dihapus, tetapi diarahkan agar berjalan secara proporsional dan transparan.
Dalam konteks debitur kecil, rekonstruksi regulasi idealnya memberi perlakuan khusus. Debitur kecil dapat diposisikan sebagai kategori yang memerlukan perlindungan lebih tinggi, sehingga berhak atas penjelasan yang lebih rinci, kontrak dengan bahasa yang tidak teknis, dan mekanisme penyelesaian yang lebih humanis, misalnya mediasi wajib sebelum eksekusi atas aset-aset vital. Perlakuan berbeda semacam ini bukan bentuk diskriminasi, melainkan pengakuan atas kerentanan yang memang nyata secara sosial dan ekonomi.
D. Meneguhkan Kembali Sifat Sekunder Akta Jaminan
Seluruh tawaran rekonstruksi pada akhirnya bertujuan untuk mengembalikan kedudukan akta jaminan pada proporsi yang tepat. Jika secara teoritik akta jaminan diakui sebagai perjanjian accessoir, maka kedudukan “sekunder” tersebut harus tercermin pula dalam praktik dan dalam desain regulasi. Ini berarti bahwa titik berat hubungan hukum tetap harus terletak pada perjanjian pokok, sementara jaminan difungsikan sebagai pengaman terakhir, bukan sebagai instrumen utama yang menentukan hidup-matinya debitur.
Peneguhan kembali sifat sekunder ini mensyaratkan perubahan orientasi. Lembaga keuangan perlu memandang perjanjian pokok bukan hanya sebagai “jalan formal” menuju jaminan, tetapi sebagai instrumen yang sungguh-sungguh disentuh ketika terjadi masalah, melalui pendekatan restrukturisasi, penjadwalan ulang, atau skema penyelamatan lainnya. Akta jaminan baru seyogianya diaktifkan pada tahap berikutnya, ketika upaya-upaya tersebut terbukti tidak memadai.
Bagi pembentuk undang-undang dan penegak hukum, meneguhkan sifat sekunder akta jaminan berarti merumuskan aturan yang secara sistematik mendorong penggunaan jaminan secara proporsional. Regulasi yang hanya menekankan kecepatan dan kemudahan eksekusi pada dasarnya menggeser fungsi jaminan menjadi instrumen primer. Sebaliknya, regulasi yang menggabungkan kepastian dengan mekanisme perlindungan debitur akan mengarahkan praktik ke posisi yang lebih sejalan dengan doktrin accessoir.
Dengan demikian, paradoks antara teori dan praktik dapat diperkecil. Akta jaminan tidak lagi menjadi “sekunder di atas kertas, primer di lapangan”, melainkan benar-benar diposisikan sebagai instrumen tambahan yang bekerja dalam kerangka hubungan kontraktual yang adil, seimbang, dan berkeadilan sosial.
PENUTUP
Kesimpulan
- Paradoks kedudukan akta jaminan tampak jelas ketika dibandingkan antara doktrin dan praktik: secara teoritik ia dikonstruksikan sebagai perjanjian accessoir yang bersifat sekunder terhadap perjanjian pokok, namun dalam praktik pembiayaan justru berfungsi secara primer, terutama pada saat wanprestasi, karena menjadi instrumen utama eksekusi yang menentukan nasib ekonomi debitur khususnya debitur kecil yang berada pada posisi tawar lemah.
- Desain regulasi jaminan kebendaan di Indonesia masih cenderung kreditor-sentris dan belum secara memadai mengintegrasikan prinsip keadilan kontraktual dan perlindungan debitur kecil, sehingga diperlukan rekonstruksi regulasi yang menegaskan standar minimum perlindungan debitur, mekanisme pengawasan eksekusi, serta perlakuan khusus bagi debitur kecil, agar sifat sekunder akta jaminan sebagai instrumen accessoir benar-benar tercermin dalam praktik.
Saran
- Pembentuk undang-undang dan otoritas pengawas sektor keuangan perlu menyusun atau merevisi pengaturan mengenai jaminan kebendaan dengan menambahkan norma eksplisit tentang keadilan kontraktual, standar klausula perlindungan minimum bagi debitur, serta prosedur pengawasan dan pelaporan eksekusi jaminan, khususnya ketika menyangkut aset-aset vital milik debitur kecil.
- Para pelaku praktik terutama lembaga keuangan dan notaris/ PPAT perlu mengubah orientasi dari sekadar mengamankan pelunasan melalui eksekusi jaminan menjadi pendekatan yang lebih proporsional dengan mengedepankan transparansi, penjelasan yang memadai kepada debitur, upaya restrukturisasi sebelum eksekusi, serta penyusunan klausula akta jaminan yang tidak semata-mata memaksimalkan posisi kreditor, tetapi juga menghormati martabat dan keberlangsungan hidup ekonomi debitur.
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen sektor jasa keuangan (misalnya POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan).
Buku
Fuady, Munir. Jaminan Fidusia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Fuady, Munir. Hukum Jaminan Utang: Fidusia, Gadai, dan Hipotek. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Jakarta: Kencana, 2010.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2014.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 2010.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur Bandung, 1981.
Salim, H. S. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Satrio, J. Hukum Jaminan: Hak Jaminan Kebendaan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993.
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2001.
Artikel/Jurnal
Adisubrata, W. “Kedudukan Hukum Akta Jaminan dalam Perjanjian Kredit Bank: Antara Instrumen Accessoir dan Instrumen Utama.” Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 48, No. 3 (2018): 345–367.
Lumbanraja, R. “Asas Keseimbangan dalam Perjanjian Kredit antara Bank dan Nasabah: Perspektif Perlindungan Konsumen.” Jurnal Rechtsvinding, Vol. 9, No. 2 (2020): 201–220.
Pratama, A. G. “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia.” Jurnal Konstitusi, Vol. 17, No. 1 (2020): 115–136.
Raharjo, S. “Perlindungan Hukum bagi Debitur dalam Eksekusi Jaminan Kebendaan.” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Vol. 22, No. 2 (2015): 250–270.
Utami, D. P. “Klausula Baku dalam Perjanjian Kredit Bank dan Relevansinya dengan Prinsip Kehati-hatian dan Perlindungan Nasabah.” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 6, No. 1 (2019): 55–78.
Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan