SAMARINDA – Nyaris setengah triliun rupiah dihabiskan dalam pilkada serentak 9 Desember lalu. Harapan ketika lembaran rupiah itu digelontorkan adalah tingginya tingkat partisipasi masyarakat. Sebab, ini merupakan indikator keberhasilan penyelenggaraan pilkada.
Tapi, apa hendak dikata. Tingkat partisipasi pemilih tak sebesar harapan. Dari data real count yang ditayangkan KPU RI, bila dirata-ratakan tingkat partisipasi pemilih di sembilan daerah di Kaltim hanya 63 persen. Terendah Samarinda sekitar 49 persen dan tertinggi Mahakam Ulu mencapai 75 persen. Padahal, bila memilik alokasi anggaran yang dikucurkan ke KPU dan dana kampanye, Samarinda yang tertinggi dengan total Rp 85,32 miliar.
“Negara rugi. Uang miliaran digunakan, tapi implementasinya kurang maksimal,” ucap Djamal Amin, pengamat politik dari Unmul.
Dia menilai ada empat faktor penyebab tingkat partisipasi pemilih turun. Pertama dari level terbawah. Yakni, rukun tetangga hingga akurasi data belum maksimal. Sebagian pemilih harusnya bisa menyalurkan suara, tapi akhirnya tak bisa. Penyebabnya, mereka tak mendapat formulir C-6 (biasa disebut undangan).
Ada pula pemilih yang masih terdaftar, tapi sudah meninggal atau pindah ke luar daerah, namun masih dilaporkan ke kelurahan. “Sama saja kerja dua kali. Pemutakhiran data pemilih enggak berjalan baik,” ujarnya.
Jika hendak mencari penyebab lain, lanjut Djamal, KPU turut menyumbang kesuksesan turunnya partisipasi pemilih lantaran sosialisasi kurang berhasil. “Saya sudah rasakan, setidaknya keakuratan data pemilih bisa di-update sebulan atau dua bulan sekali,” terangnya.
Dosen FISIP Unmul itu melanjutkan, faktor ketiga para pemilih telah jenuh dengan calon yang ada. Belum ada yang membawa perubahan pasti. Bisa juga calon yang diunggulkan tak lolos pendaftaran. “Akibatnya tak ada calon representatif,” kata dia. Faktor terakhir, pemilih sudah apatis. “Pemberi hak suara merasa tak menerima manfaat,” ujar Djamal.
Terpisah, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kaltim Saipul Bachtiar menilai, biaya gelaran pesta demokrasi memang naik tiap tahun. Itu berbanding lurus dengan terus bertambahnya jumlah pemilih. Soal itu, diperlukan komisioner penyelenggara pemilu yang tanggap beserta alat kelengkapannya.
“Ujungnya pilkada berlangsung aman dan nyaman serta kondusif. Semestinya begitu. Tapi, kenyataannya tidak,” terangnya.
Bila partisipasi menurun, tentu sosialisasi penyelenggara pemilu dipertanyakan. Sisi lain, yakni formulir C-6 tidak didistribusikan dengan maksimal. Selama ini masyarakat menganggap formulir itu sebagai undangan. Jadi, apabila pembagian tak menyeluruh, penyelenggara bertanggung jawab.
“Tak punya formulir C-6, bisa langsung datang membawa KTP dan kartu keluarga. Tidak perlu fotokopi,” tegasnya.
Bila petugas masih meminta salinan, lanjut Saipul, sama saja petugas KPPS belum memahami fungsi formulir C-6 tersebut. Jika persoalan itu banyak terjadi, kinerja KPU dipertanyakan. ”Sama saja melanggar kode etik. Hak konstitusi warga negara tidak tersalurkan dengan baik,” tegasnya lagi.
Saipul menyebut, apabila tren terus menurun ini terjadi setiap tahun, maka sistem pemilihan perlu dievaluasi. Tak hanya itu, penyelenggara juga demikian. Anggaran sudah dikeluarkan, tapi hasilnya kurang maksimal. “Apabila penyelenggara tak bisa menarik minat pemilih, sistem harus diperbaiki. Jangan sampai pemilu semakin ke sini, partisipasi pemilih ikut menurun,” tuturnya. [] KP