NEW YORK — Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, kembali mengeluarkan pernyataan optimistis setelah Hamas menyatakan kesediaan untuk membebaskan sandera dan mempertimbangkan gencatan senjata berdasarkan usulan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Namun, di balik diplomasi yang tampak damai itu, banyak pihak menilai PBB hanya mengulang retorika lama tanpa kekuatan nyata menghentikan perang dan penderitaan warga Gaza.
Dalam pernyataan resmi yang disampaikan juru bicaranya, Stephane Dujarric, Guterres menyebut langkah Hamas itu sebagai “peluang penting” untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di Gaza. “Sekretaris Jenderal mendesak semua pihak memanfaatkan kesempatan ini untuk mengakhiri konflik tragis di Gaza,” ujar Dujarric, Sabtu (04/10/2025).
Namun, banyak analis menilai pernyataan tersebut sekadar basa-basi diplomatik. Guterres berkali-kali menyerukan gencatan senjata, tetapi PBB tetap tak berdaya menekan Israel maupun AS untuk menghentikan bombardir terhadap warga sipil.
Sementara itu, pejabat senior Hamas, Mousa Abu Marzouk, pada Jumat (03/10/2025) mengatakan pihaknya “secara prinsip” menyetujui rencana gencatan senjata yang diusulkan Trump. Tapi Hamas juga menegaskan bahwa penerapannya masih perlu negosiasi, terutama karena proposal itu mencantumkan syarat yang sensitif, yakni perlucutan senjata poin yang selama ini ditolak Hamas karena dianggap melemahkan perlawanan terhadap pendudukan Israel.
Meski begitu, Guterres tampak tetap ingin menjaga nada positif. Ia bahkan berterima kasih kepada Qatar dan Mesir atas peran mereka dalam memediasi proses perdamaian. “Sekretaris Jenderal menegaskan kembali seruannya yang konsisten untuk gencatan senjata segera dan permanen, pembebasan semua sandera tanpa syarat, serta akses kemanusiaan tanpa batas,” tambahnya.
Namun kenyataannya, seruan PBB berulang kali hanya berhenti di meja konferensi. Di lapangan, bom tetap dijatuhkan, anak-anak masih terbunuh, dan Gaza terus hancur di bawah senjata buatan negara-negara yang justru menjadi anggota tetap Dewan Keamanan.
Trump sendiri sebelumnya telah memberikan tenggat waktu hingga Minggu (5/10) kepada Hamas untuk merespons proposal 20 poin yang ia luncurkan bersama Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Gedung Putih pada 29 September lalu. Dalam proposal itu, Israel langsung menyetujui semua poin yang, secara ironis, banyak menguntungkan pihaknya.
Poin-poin itu mencakup gencatan senjata segera, pembebasan sandera, perlucutan senjata Hamas, serta pembentukan “panel perdamaian” yang disebut-sebut akan dipimpin oleh tokoh Barat seperti Sir Tony Blair. Di atas kertas, semua tampak ideal. Namun bagi rakyat Gaza, usulan itu terasa seperti jebakan gencatan senjata yang dikendalikan sepenuhnya oleh pihak yang selama ini menjadi pelaku agresi.
Sementara PBB dan dunia menyambut proposal ini dengan bahasa diplomatik penuh harapan, yang tetap tak berubah adalah kenyataan pahit: Gaza masih di bawah reruntuhan, dan PBB masih menjadi penonton dalam tragedi kemanusiaan yang tak berujung. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan