NEPAL – Nepal memasuki babak politik baru setelah Presiden Ram Chandra Paudel secara resmi melantik Sushila Karki sebagai perdana menteri transisi pada Jumat (12/09/2025). Karki, mantan Ketua Mahkamah Agung yang kini berusia 73 tahun, didapuk untuk memimpin negara di tengah gejolak politik dan sosial yang belum mereda.
Upacara pelantikan berlangsung di istana presiden dan disiarkan langsung melalui televisi pemerintah. Dalam kesempatan itu, Presiden Paudel menyampaikan harapan besar kepada perdana menteri baru. “Selamat! Kami mendoakan kesuksesan Anda, mendoakan kesuksesan negara ini,” ujarnya kepada Karki.
Penunjukan Karki menjadi puncak dari rangkaian krisis yang bermula pada 8 September lalu, ketika ribuan anak muda turun ke jalan memprotes kebijakan pemerintah yang memblokir 26 platform media sosial populer, mulai dari Facebook, Instagram, WhatsApp, YouTube, hingga X. Alasannya, perusahaan-perusahaan teknologi tersebut tidak mendaftar sesuai regulasi baru.
Namun, akar permasalahan lebih dalam sesungguhnya berhubungan dengan ketimpangan sosial dan tingginya angka pengangguran yang sudah lama menghimpit kehidupan masyarakat. Situasi ini memperbesar ketidakpuasan publik, hingga demonstrasi meluas menjadi kerusuhan.
Kerusuhan bahkan menyeret rumah-rumah pejabat dan memaksa dua pucuk pimpinan negara, yakni Perdana Menteri KP Sharma Oli dan Presiden Paudel, mengundurkan diri hampir bersamaan. Laporan media menyebut, kondisi Nepal sempat benar-benar tanpa kepemimpinan eksekutif pada Selasa (09/09/2025).
Kerusuhan besar itu menjadi tragedi terburuk sejak berakhirnya perang saudara dan penghapusan monarki pada 2008. Sedikitnya 51 orang dilaporkan tewas, sementara puluhan lainnya luka-luka.
Militer kembali menguasai jalan-jalan utama di Kathmandu pada Rabu (10/9) dengan memberlakukan jam malam. Upaya ini dilakukan untuk meredam kekacauan yang semakin meluas.
Di tengah krisis, proses negosiasi intensif berlangsung. Panglima Angkatan Darat Jenderal Ashok Raj Sigdel bersama Presiden Paudel dan perwakilan kelompok muda “Gen Z” duduk bersama mencari solusi. Nama Sushila Karki akhirnya mengemuka sebagai tokoh kompromi.
Karki bukan hanya dikenal sebagai mantan Ketua Mahkamah Agung, tetapi juga sebagai perempuan pertama yang pernah menduduki jabatan tertinggi di lembaga peradilan Nepal. Reputasinya sebagai figur independen diyakini mampu menjembatani jurang politik dan meredakan ketegangan sosial.
Ribuan aktivis muda bahkan menggunakan aplikasi Discord untuk mendiskusikan arah gerakan. Dari forum daring itu, Karki muncul sebagai sosok yang dianggap paling layak memimpin transisi.
Dalam upacara pelantikan, Karki mengenakan sari merah. Ia mengambil sumpah jabatan tanpa memberikan pidato politik lebih lanjut. Namun, gestur yang ditunjukkannya – senyum, serta membungkuk dengan tangan dirapatkan dalam salam tradisional – dinilai sebagai simbol kerendahan hati dan kesiapan mengemban tugas berat.
Reaksi positif datang dari kalangan demonstran. “Ini adalah momen kemenangan… akhirnya kekosongan kekuasaan telah berakhir,” kata Amrita Ban, salah seorang aktivis muda Gen Z yang ikut menggelar protes.
Penasihat pers kepresidenan, Kiran Pokharel, menyampaikan bahwa struktur pemerintahan baru segera dibentuk. “Sebuah dewan menteri akan dibentuk setelahnya, dan proses-proses lainnya akan dilanjutkan setelahnya,” ujarnya.
Langkah ini menandai awal proses transisi menuju pemerintahan yang lebih stabil, meski tantangan besar masih menanti. Karki dituntut segera meredam ketegangan sosial, mengembalikan kepercayaan publik, dan membuka ruang dialog dengan generasi muda yang menjadi motor perlawanan.
Pengangkatan Sushila Karki disambut sebagai babak baru, namun jalan panjang masih terbentang. Nepal harus menghadapi masalah struktural yang sudah lama ada: kemiskinan, kesenjangan, serta kepercayaan publik yang terkikis akibat dugaan korupsi di tubuh pemerintahan sebelumnya.
Keputusan mengangkat seorang mantan Ketua Mahkamah Agung berusia 73 tahun juga menandai pergeseran peran perempuan di dunia politik Nepal. Banyak pihak berharap Karki dapat membawa semangat reformasi dan keadilan hukum ke ranah eksekutif.
Bagi masyarakat Nepal, pelantikan ini tidak sekadar soal siapa yang memimpin, melainkan ujian besar apakah demokrasi mereka sanggup bertahan menghadapi gelombang ketidakpuasan rakyat yang terus bergolak. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan