Pembebasan Tom dan Hasto Tuai Sorotan Hukum dan Politik

JAKARTA – Pembebasan dua tokoh politik nasional, yakni eks Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, menuai perhatian luas setelah keduanya memperoleh amnesti dan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan tersebut memunculkan kembali perdebatan lama soal batas-batas penggunaan hak prerogatif presiden dalam konteks hukum dan politik.

Tom Lembong resmi dibebaskan dari Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta, pada Jumat malam (01/08/2025) sekitar pukul 22.00 WIB. Ia keluar dengan mengenakan kaus polo biru tua dan didampingi istri, kuasa hukum, serta mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. “Apa yang saya jalani ini bukan proses hukum yang ideal. Selama sembilan bulan ini sangat menantang dan membuat saya berefleksi,” kata Tom kepada awak media, sesaat setelah pembebasannya.

Sekitar satu jam sebelumnya, Hasto Kristiyanto meninggalkan Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mengenakan jas dan kaus berwarna merah. Ia juga mengucapkan terima kasih atas pengampunan yang diberikan. Keduanya dibebaskan setelah Keputusan Presiden yang ditandatangani Prabowo pada 1 Agustus 2025 diterbitkan.

Pemberian amnesti dan abolisi ini memicu perdebatan tajam di kalangan akademisi dan aktivis antikorupsi. Yassar Aulia dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai langkah tersebut membuka ruang manipulasi hukum. “Sepanjang kami tahu, sepanjang sejarah tidak pernah ada amnesti maupun abolisi diberikan kepada terpidana kasus korupsi,” ujarnya.

Isu ini menjadi semakin kompleks mengingat vonis terhadap keduanya belum berkekuatan hukum tetap. Tom divonis 4,5 tahun penjara atas kasus impor gula kristal mentah, sementara Hasto dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara terkait perkara suap Harun Masiku. Pemerintah sebelumnya menyatakan bahwa amnesti dan abolisi diberikan demi menjaga stabilitas politik nasional serta merajut kembali persatuan bangsa.

Namun menurut Sahel Muzammil dari Transparency International Indonesia, tindakan tersebut “sangat prematur”. Ia mempertanyakan dasar pemberian pengampunan kepada individu yang masih dalam proses peradilan. “Kalau memang ini politisasi hukum, maka harus diungkap siapa dalangnya yang mempolitisir dan tentu harus diadili juga,” tegas Sahel.

Pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Supratman Andi Agtas, menyampaikan bahwa keputusan ini merupakan bagian dari semangat rekonsiliasi nasional. “Iya, hanya ada dua orang terpidana korupsi di daftar ini. Tapi seperti yang disampaikan tadi, komitmen Presiden tetap pada pemberantasan korupsi,” ucap Supratman dalam konferensi pers.

Sejumlah kalangan menganggap bahwa langkah ini dapat menimbulkan preseden hukum yang membahayakan masa depan pemberantasan korupsi. Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, menyebut bahwa alasan pemberian amnesti dan abolisi kepada dua tokoh politik ini harus dijelaskan secara transparan. “Keduanya menjadi tersangka saat pemerintah Prabowo, tapi sekarang Prabowo berikan amnesti dan abolisi,” ucapnya.

Dengan kasus yang menyeret nama-nama besar dan pemberian pengampunan yang tidak lazim, keputusan ini menambah catatan baru dalam sejarah praktik konstitusional Indonesia. Sementara publik menunggu penjelasan lebih rinci dari pemerintah, sejumlah pihak terus mendesak pentingnya regulasi yang lebih ketat mengenai pemberian amnesti dan abolisi agar tidak digunakan secara politis dan sewenang-wenang.[]

Admin05

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com