Pemecatan Kompol Cosmas, GMKI Desak Kapolri Ikut Bertanggung Jawab

NUSA TENGGARA TIMUR – Polemik pemecatan Komisaris Polisi (Kompol) Cosmas Kaju Gae dari institusi Polri terus memunculkan beragam reaksi, terutama dari kalangan organisasi mahasiswa dan kelompok masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kasus ini bermula dari insiden tabrakan yang menewaskan seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, di Jakarta, dan berujung pada keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Kompol Cosmas.

Di Kupang, sikap kritis datang dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Kupang. Ketua GMKI, Andraviani Laiya, menilai kasus ini bukan sekadar persoalan disiplin anggota kepolisian, melainkan juga menyangkut akuntabilitas pimpinan tertinggi. “Tapi jika tanggapan dari kami ialah kami tetap pada prinsip bahwa keadilan dan kebenaran harus tetap diperjuangkan. Saya tidak mau masuk dalam konteks SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan),” ujar Andraviani, Jumat (05/09/2025).

Menurut Andraviani, GMKI bahkan telah menggelar aksi demonstrasi di depan kantor DPRD NTT pada 1 September 2025. Dalam aksi tersebut, mereka mendesak agar Kapolri juga ikut dicopot. “Bagi kami, pimpinan tertinggi harus turut andil dan harus bertanggung jawab,” tegasnya. Ia menambahkan, sikap GMKI adalah bagian dari peran gerakan mahasiswa yang konsisten menyuarakan persoalan bangsa, termasuk di tingkat daerah.

Tak hanya mahasiswa, masyarakat adat dan kelompok pemuda di NTT juga ikut menyuarakan penolakannya. Ikatan Keluarga Ngada (Ikada) di Kupang menyampaikan pernyataan resmi bahwa mereka menolak keputusan pemecatan Kompol Cosmas. Ketua Ikada Kupang, Sipri Radho Toly, mengungkapkan pernyataan sikap itu telah diserahkan kepada aparat kepolisian untuk diteruskan hingga ke Presiden Prabowo. “Intinya, masyarakat Ngada di Kupang menolak pemecatan Kompol Cosmas,” kata Sipri.

Nada serupa datang dari Forum Pemuda NTT Nagekeo. Mereka menilai bukan hanya Kompol Cosmas, tetapi juga enam anggota Brimob lainnya yang ikut terlibat dalam peristiwa itu telah dikorbankan. Menurut forum tersebut, keputusan PTDH seakan hanya membebankan tanggung jawab kepada individu tertentu, tanpa menyentuh persoalan struktural yang lebih besar.

Kasus ini memperlihatkan betapa kompleksnya relasi antara keputusan institusional Polri dan persepsi masyarakat di daerah. Di satu sisi, Polri ingin menunjukkan komitmen menegakkan disiplin serta memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya. Namun di sisi lain, kelompok masyarakat dan organisasi di NTT justru menilai pemecatan tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan rasa keadilan.

Reaksi beragam ini membuat polemik pemecatan Kompol Cosmas tidak berhenti pada level institusi, melainkan telah menjadi isu sosial dan politik yang lebih luas. Bagi sebagian kalangan, desakan agar Kapolri juga ikut bertanggung jawab semakin memperkuat dorongan agar kasus ini tidak berhenti pada pemecatan individu, melainkan menjadi momentum untuk mengevaluasi secara menyeluruh budaya pertanggungjawaban dalam tubuh kepolisian. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com