BERAU – Krisis ketersediaan pasir yang melanda Kabupaten Berau belakangan ini kian menimbulkan keresahan. Tidak hanya berdampak pada keterlambatan sejumlah proyek pembangunan, kondisi ini juga mulai dirasakan langsung oleh masyarakat, khususnya pelaku usaha konstruksi dan warga yang sedang membangun rumah.
Rektor Universitas Muhammadiyah Berau (UMB), Muhammad Bayu, menilai bahwa kelangkaan pasir bukan sekadar masalah teknis, melainkan sudah menyentuh aspek ekonomi riil yang memengaruhi kesejahteraan masyarakat secara luas. “Kalau dilihat dari sudut ekonomi, ini sangat menghambat pembangunan fisik, termasuk gedung-gedung pemerintah,” ujarnya, kemarin (13/06/2025).
Bayu menambahkan, proyek pembangunan yang mandek otomatis menurunkan volume pekerjaan harian yang menjadi sandaran banyak tenaga kerja informal. Mereka yang biasanya memperoleh penghasilan harian atau mingguan kini terpaksa kehilangan pendapatan. “Kalau mereka tidak bekerja, otomatis tidak ada penghasilan. Akibatnya, daya beli menurun dan sektor riil pun jadi sepi pembeli,” terangnya.
Salah satu faktor utama yang diduga menjadi penyebab langkanya pasir adalah sulitnya perizinan tambang galian C. Izin ini dibutuhkan untuk kegiatan eksploitasi bahan seperti pasir, batu, dan tanah urug. Namun dalam praktiknya, prosedur yang kompleks membuat banyak pelaku usaha kesulitan mendapatkan izin.
Bayu mengusulkan agar pemberian izin galian C dikembalikan ke tingkat kabupaten. Ia menilai, kebijakan tersebut akan memperpendek birokrasi dan memudahkan pelaku usaha lokal, asalkan tetap diawasi dengan ketat. “Asal ada pengawasan ketat, saya rasa akan lebih efektif kalau kewenangan izinnya dikembalikan ke pemkab,” sarannya.
Kondisi ini juga berdampak pada pembangunan skala kecil, seperti yang dialami Andika, warga Kelurahan Rinding. Ia mengaku pembangunan rumah pribadinya terpaksa tertunda karena sulit memperoleh pasir. “Pasir sekarang susah didapat. Pekerjaan jadi terhambat,” ujarnya singkat.
Ia berharap pemerintah daerah tidak tinggal diam dan segera menempuh langkah-langkah konkret untuk mengatasi krisis material ini. “Harapannya ada kebijakan strategis, jangan sampai masalah pasir ini dibiarkan berlarut-larut,” tambahnya.
Kelangkaan pasir yang tengah terjadi ini bukan hanya menyulitkan pelaksanaan proyek infrastruktur, tetapi juga memperlambat sirkulasi uang di masyarakat. Dengan banyaknya sektor yang bergantung pada kelancaran distribusi material bangunan, keterlambatan seperti ini bisa menciptakan efek domino terhadap ekonomi lokal.
Pemerintah daerah diharapkan segera bersinergi dengan pemerintah provinsi dan pusat dalam mencari solusi terbaik, termasuk meninjau ulang kebijakan perizinan yang ada. Langkah konkret dan kebijakan yang adaptif menjadi kunci untuk mencegah agar situasi ini tidak terus membebani masyarakat dan sektor pembangunan. [] Admin03