JAKARTA – Dua jembatan penyeberangan orang (JPO) di kawasan Senen dan Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat, kini menjadi saksi bisu bagaimana kericuhan demonstrasi dapat meruntuhkan fasilitas publik dalam hitungan jam. Peristiwa yang terjadi pada Jumat (29/08/2025) itu meninggalkan puing-puing dan kesan pilu, terutama bagi warga yang biasa mengandalkan JPO sebagai jalur aman melintasi jalan protokol ibu kota.
Sejumlah pejalan kaki mengaku kehilangan rasa aman akibat kerusakan tersebut. Selama ini, JPO tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyeberangan, tetapi juga sebagai simbol perhatian pemerintah terhadap keselamatan warga. Kini, fasilitas itu harus diperbaiki dari awal dengan biaya besar.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menegaskan bahwa pemulihan infrastruktur ini segera ditangani. Ia memastikan proses perbaikan dua JPO yang hancur akan dikerjakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum (PU) atas instruksi langsung Presiden Prabowo Subianto. Targetnya, perbaikan rampung pada Desember 2025.
“Secara khusus terima kasih kepada Kementerian PU atas arahan Bapak Presiden Prabowo Subianto untuk memperbaiki halte dan juga JPO yang ada di Senen maupun di Polda Metro. Mereka akan memulai mengerjakan ini dan mudah-mudahan selesai bulan Desember,” ujar Pramono saat meninjau Halte Jaga Jakarta, Senin (08/09/2025).
Selain JPO, fasilitas lift juga masuk dalam daftar perbaikan. Sementara itu, Pemprov DKI bersama pihak Transjakarta menangani kerusakan halte. Pramono memperkirakan biaya perbaikan dua JPO dan fasilitas lift mencapai Rp19 hingga Rp20 miliar.
Kerusakan akibat aksi anarkistis tidak hanya menimpa JPO, tetapi juga merusak 22 halte Transjakarta. Meski begitu, pemerintah daerah bergerak cepat. Dalam waktu kurang dari sepekan, halte-halte yang terdampak sudah kembali beroperasi normal. “Tidak lebih dari tujuh hari, sudah normal kembali. Dan hari ini mohon maaf, tarifnya juga sudah normal kembali,” ujar Pramono.
Halte Senen Sentral menjadi salah satu yang paling parah kondisinya. Kini, halte tersebut resmi berganti nama menjadi Halte Jaga Jakarta. Menurut Pramono, perubahan nama itu bukan sekadar formalitas, melainkan simbol ajakan agar masyarakat bersama-sama menjaga fasilitas publik.
“Karena yang pertama, sebagai bagian kita untuk menjaga Jakarta secara bersama-sama. Supaya kejadian ini tidak terulang kembali, maka saya bersama jajaran balik kota memutuskan untuk mengubah Halte Sentral Jakarta ini, menjadi Jaga Jakarta,” ungkapnya.
Bagi warga, kerusakan dua JPO dan sejumlah halte bukan hanya soal infrastruktur yang hilang. Lebih dari itu, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa fasilitas publik rentan jika tidak ada kesadaran bersama untuk melindunginya. Perbaikan yang memakan waktu berbulan-bulan memperlihatkan bahwa membangun kembali jauh lebih sulit dibanding menjaga yang sudah ada.
Meski luluh lantak dalam semalam, perjalanan pemulihan fasilitas publik di Jakarta diharapkan membawa pelajaran berharga. JPO, halte, hingga lampu lalu lintas bukan sekadar bangunan fisik, melainkan wujud nyata pelayanan negara untuk masyarakat. Jika rusak, bukan hanya pemerintah yang menanggung kerugian, melainkan juga warga yang kehilangan akses dan kenyamanan.
Dengan keterlibatan pemerintah pusat hingga daerah, proyek perbaikan ini diharapkan selesai tepat waktu. Namun lebih penting lagi, peristiwa ini seharusnya menjadi titik balik untuk menumbuhkan kesadaran kolektif: menjaga fasilitas umum adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tugas pemerintah. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan