KUTAI TIMUR – Penurunan drastis pendapatan bagi hasil (profit sharing) dari sektor sumber daya alam menjadi perhatian serius Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Timur (Kutim). Anggota DPRD Kutim, Ramadhani, mengungkapkan bahwa nilai profit sharing yang diterima daerah turun tajam dalam tiga tahun terakhir, dari Rp540 miliar pada tahun 2022 menjadi sekitar Rp80 miliar pada tahun 2023.
“Karena di tahun 2022 itu kan profit sharing kita Rp540 miliar, terus 2023 jadi Rp80 miliar, jadi turun,” ujar Ramadhani, Selasa (11/11/2025).
Ia menilai penurunan tersebut tidak sejalan dengan tingkat produksi perusahaan tambang yang justru meningkat. “Dari produksinya mereka tidak ada yang berkurang, bahkan bertambah. Enggak pernah di bawah 50 juta, selalu naik. Kenapa kok profit sharing-nya turun?” katanya heran. Menurutnya, perubahan nilai bagi hasil itu disebabkan oleh perbedaan harga jual, terutama antara penjualan batu bara di dalam negeri dan ekspor.
“Ternyata ada perhitungan harga yang berubah-ubah kalau dia yang jual ke luar negeri 70 persen, 30 persen jual di dalam negeri. Nah, itu ternyata ada harga yang berubah di situ,” jelasnya.
Dengan proyeksi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kutai Timur tahun 2026 hanya sebesar Rp4,8 triliun, pemerintah daerah dan DPRD kini berupaya mencari sumber pendapatan baru di luar sektor tambang. “Mau tidak mau kita harus mencari, tapi bukan hanya KPC. Kami semua sepakat di Banggar dan teman-teman dewan dengan Bapenda untuk mencari sumber pendapatan selain di pajak dan yang lain,” ujar Ramadhani.
Salah satu fokus pemerintah daerah adalah optimalisasi pajak badan, pajak perusahaan, dan pajak kendaraan, termasuk kendaraan tambang dan alat berat. “Termasuk plat kendaraan semua. Bahkan tambang perusahaan alat berat juga ada pajaknya. Terkait pajak bumi dan bangunan mereka, pajak air mereka. Cuma kan itu larinya ke provinsi sama ke pusat. Tapi kita mau tahu jangan sampai yang disetor ke kami tidak sesuai,” tegasnya.
DPRD juga mendorong agar pemerintah Kutim memiliki data lebih rinci tentang produksi dan kontribusi setiap perusahaan. “Selama ini kita enggak punya data berapa total produksi setiap perusahaan. Ada di Bappeda, cuma tidak detail. Kami minta sedetail mungkin buat argumentasi kami di ESDM,” jelas Ramadhani.
Selain meminta transparansi data, DPRD berencana membentuk panitia khusus (pansus) untuk memperjuangkan hak daerah sebagai penghasil sumber daya alam. “Kami Kutai Timur ya janganlah, kami bukan daerah peminta, kami daerah penghasil. Kalau perlu kami bentuk pansus, karena Kutai Timur dengan anggaran seperti ini tidak baik-baik saja. Jadi harus ada langkah progresif,” tegasnya.
Upaya peningkatan pendapatan daerah juga akan menyasar sektor lain di luar pertambangan, seperti pariwisata dan retribusi jasa lingkungan. Ramadhani menyebut beberapa destinasi wisata akan diatur ulang sistem kontribusinya, termasuk dari kegiatan pelomian dan pariwisata berbasis desa. “Pariwisata yang kayak di Pulau Miang itu mau diatur. Tapi kami juga akan membangun akses jalannya, infrastrukturnya,” ujarnya.
Ramadhani berharap sinergi antara DPRD, pemerintah daerah, dan perusahaan bisa memperkuat posisi Kutim sebagai daerah penghasil, bukan sekadar penerima dana transfer. “Kami sudah sampaikan semua ke perusahaan-perusahaan. Mereka welcome, mereka terbuka, mereka akan kasih kita data,” katanya optimistis.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan