JAKARTA – Warga yang tak menggunakan hak pilih alias golput di Pilkada 2024 terbilang tinggi. Di sejumlah daerah, jumlah suara pemenang bahkan jauh di bawah angka golput.
Salah satunya di DKI Jakarta. Koordinator Tim Pemenangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) Ramdan Alamsyah sempat jengah melihat angka golput yang tinggi di Pilgub Jakarta 2024.
Ramdan bahkan menganggap Pilgub Jakarta kali ini dimenangkan oleh golput lantaran jumlahnya yang tinggi. Menurutnya, tidak ada pasangan calon yang benar-benar menang.
Adapun di Jakarta, paslon yang bertanding adalah RK-Suswono, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, dan Pramono Anung-Rano Karno. Pram-Rano mencatat kemenangan dengan raihan 50,07 persen suara sah.
“(Paslon) 01 menang? Tidak! 03 menang? Tidak! 02 menang? Tidak! Peserta kalah semua, yang menang golput,” kata Ramdan di Jakarta Pusat, Minggu (8/12).
Angka golput di Pilkada Jakarta 2024 mencapai 3.489.614 orang atau dengan 42,48 persen dari daftar pemilih tetap (DPT). Sementara pada Pilkada Jakarta 2017, angka golput hanya 1.654.854 atau sekitar 22,9 persen dari total pemilih sebanyak 7.218.272.
Berikutnya di Pilgub Sumut, warga golput mencapai 50,68 persen. Partisipasi pemilih pada Pilgub Sumut 2024 hanya 5.312.561 orang dari total DPT 10.771.496 orang.
Jawa Timur turut menyumbang angka golput yang signifikan yaitu sebesar 34,67 persen dari total DPT 31.280.418 orang.
Anggota KPU August Mellaz pada 29 November lalu sempat mengatakan menurut data sementara KPU, tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak 2024 secara nasional di bawah 70 persen. Sementara pada Pilpres dan Pileg 2024 yang digelar 14 Februari lalu, tingkat partisipasi pemilih mencapai 81,78 persen.
Warga Jenuh
Peneliti LSI Denny JA Adjie Alfaraby mengatakan ada beberapa penyebab rata-rata angka golput di Pilkada Serentak 2024 mengalami peningkatan. Pertama, kata Adjie, ada faktor kelelahan dan kejenuhan masyarakat menghadapi momen dua pemilu di tahun yang sama.
“Rakyat baru selesai melewati proses pemilu nasional, yang habiskan banyak juga energi. Faktor kelelahan dan kejenuhan menjadi faktor,” kata Adjie kepada CNNIndonesia.com Selasa (10/12)
Faktor kedua, pemilih makin apatis dengan pemilu kepala daerah. Hal ini disebabkan kandidat yang berlaga di beberapa daerah kurang menarik dan kompetitif di mata rakyat. Ia melihat fenomena ini terjadi di Pilkada Jakarta dan Sumatera Utara. Alhasil, rakyat enggan menggunakan hak suara mereka.
Adjie juga melihat apatisme politik terjadi lantaran rakyat memandang siapapun yang terpilih tak banyak mengubah nasib mereka. Masyarakat di daerah, lanjutnya, lebih menilai pemimpin nasional lebih penting untuk dipilih lantaran dianggap berpengaruh ke kehidupan mereka ketimbang pemimpin lokal.
“Karena banyak kebijakan nasional yang langsung berdampak misalnya Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, kebijakan BBM dan lain-lain,” kata dia.
Senada dengan Adjie, pengamat politik dari Universitas Paramadina Arif Susanto mengatakan warga kebanyakan lelah lantaran pemilu nasional dilakukan pada tahun yang sama dengan pilkada.
“Jadi, orang jengah dengan politik, bahwa aktivitas sosial yang lain itu juga alami kelelahan dengan politik,” kata Arif.
Arif juga menilai warga antipati terhadap kandidat karena memborong semua parpol dan tidak ada alternatif lainnya. Kondisi ini terjadi ketika munculnya calon tunggal hingga ada kandidat yang memborong dukungan parpol di Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
“Jelas bahwa alternatif yang tersedia itu tidak memadai bagi banyak orang,” ucapnya.
Tak pengaruhi hasil, tapi minim legitimasi
Arif mengatakan menangnya angka golput di beberapa daerah secara formal tak bisa membatalkan hasil Pilkada 2024. Sebab, di UU Pilkada tak ada aturan angka golput tinggi dapat membatalkan hasil pemilihan.
Namun, ia melihat tingginya angka golput bisa membuat legitimasi pemimpin terpilih minim di hadapan rakyatnya.
“Tapi kalau mempertanyakan legitimasi, ya tentu saja itu berpengaruh terhadap legitimasi. Mulai dari calon sampai ke yang terpilih,” kata Arif.
Arif juga mengatakan para pemilih yang memutuskan golput tak dapat dipidana karena itu merupakan hak seseorang. Namun, ia mengatakan jika seseorang memobilisasi orang lain untuk golput dan mengarahkan pemilih memilih kandidat lain menggunakan politik uang maka dapat dikenakan sanksi.
Arif melihat di negara lain yang dewasa dalam berdemokrasi dan memiliki kecenderungan kebebasan memilih, juga mengalami penurunan partisipasi pemilih.
Namun, meski partisipasi pemilih rendah di pemilu, warga di negara-negara tersebut sangat aktif dalam berpartisipasi dalam politik di luar ajang pemilu.
“Apakah menurunnya tingkat partisipasi dalam pemilu itu diikuti dengan menurunnya atau kah meningkatnya partisipasi politik di luar pemilu? Kalau partisipasi politik di luar pemilu mengalami peningkatan, berarti ya mungkin ini gejala meningkat kualitas partisipasi,” kata dia.[]
Redaksi10