JAKARTA – Para pelaku usaha batu bara mengingatkan pemerintah untuk segera menyiapkan strategi dalam menghadapi sejumlah tantangan setelah pemberlakuan aturan baru yang mewajibkan eksportir menggunakan Harga Batu Bara Acuan (HBA) mulai 1 Maret 2025. Kebijakan ini dianggap dapat memengaruhi daya saing Indonesia di pasar global, mengingat ketatnya persaingan dengan negara produsen lain seperti Rusia dan Australia.
Direktur Bayan Resources, Alexander Ery Wibowo, menyatakan bahwa tantangan terbesar terletak pada kondisi pasar global yang kini didominasi oleh pembeli (buyers market). Dalam kondisi ini, harga menjadi faktor utama untuk mempertahankan permintaan. “Jika harga batu bara Indonesia tidak kompetitif, pembeli dari negara seperti China dan Jepang bisa beralih ke pesaing yang menawarkan harga lebih murah,” ujar Alex, Selasa (11/03/2025).
Alex mengilustrasikan dengan harga batu bara kalori tinggi (GAR 6300) berdasarkan Newcastle Index yang saat ini berkisar antara US$125–128 per metrik ton, sementara HBA Indonesia untuk kategori yang sama hanya US$100 per metrik ton. Selisih harga tersebut, menurutnya, berisiko mendorong pembeli untuk mencari sumber lain yang lebih murah.
“Pembeli bisa beralih ke pesaing, seperti yang terjadi baru-baru ini ketika pelanggan Jepang kami beralih ke Australia karena harga yang lebih rendah,” ungkap Alex.
Meskipun kualitas tetap menjadi pertimbangan penting, Alex menekankan bahwa harga tetap menjadi faktor penentu utama dalam keputusan pembelian. “Ini adalah komoditas internasional, jadi daya saing harus tetap dijaga,” tambahnya.
Kebijakan HBA tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan Penjualan Komoditas Mineral Logam dan Batu Bara. Aturan ini berlaku bagi pemegang IUP operasi produksi, pemegang kontrak karya, dan perjanjian karya perusahaan tambang. Salah satu perubahan penting adalah penetapan HBA yang sebelumnya dilakukan setiap bulan, kini diubah menjadi dua kali sebulan (pada tanggal 1 dan 15).
“Penetapan harga acuan dilakukan pada tanggal 1 dan 15 setiap bulan,” demikian bunyi aturan tersebut, seperti dikutip pada Selasa (04/03/2025).
Meskipun dianggap perlu untuk meningkatkan transparansi, para pelaku usaha khawatir bahwa ketetapan HBA yang kaku akan menyulitkan eksportir dalam menyesuaikan diri dengan dinamika pasar. Pasalnya, harga di pasar spot dapat berubah dengan cepat, sementara HBA yang ditetapkan setiap dua minggu sekali berpotensi tidak dapat mengikuti fluktuasi harga global.
Analis pasar energi, Yusri Usman, mengungkapkan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan pemberian insentif fiskal atau kemudahan logistik untuk mengurangi struktur biaya industri.
“Biaya produksi dan transportasi yang tinggi selama ini turut mempengaruhi harga jual. Jika efisiensi meningkat, margin perusahaan bisa lebih terjaga meski HBA diterapkan,” ujarnya.
Sebagai informasi, Indonesia merupakan eksportir batu bara termal terbesar di dunia, dengan realisasi ekspor mencapai 518 juta ton pada 2024. Namun, dominasi ini terancam jika daya saing harga terus menurun. Pemerintah diharapkan segera merumuskan langkah konkret, termasuk koordinasi dengan asosiasi tambang, untuk memitigasi risiko kehilangan pasar. []
Penulis: Muhammad Yusuf | Penyunting: Nistia Endah