Penumpang Lari ke Langit, Pengusaha Bus Teriak Krisis

PONTIANAK – Kembalinya penerbangan Pontianak–Kuching menghadirkan dinamika baru dalam peta transportasi Kalimantan Barat. Moda udara yang menawarkan kecepatan dan kenyamanan membuat sejumlah trayek bus lintas batas terpukul. Fenomena ini tidak hanya menggeser pola perjalanan masyarakat, tetapi juga menggoyang fondasi ekonomi sektor angkutan darat yang selama ini menopang mobilitas warga perbatasan.

Rina (38), warga Pontianak yang kerap bolak-balik ke Kuching untuk belanja dan urusan keluarga, mengakui perubahan kebiasaan bepergiatannya. Ia menilai perbandingan harga dan waktu membuat pesawat menjadi pilihan rasional.
Kalau cuma ingin cepat sampai, pesawat jelas lebih praktis dan murah. Saya bisa sampai dalam waktu kurang dari satu jam, sementara kalau pakai bus harus menempuh perjalanan semalaman,” ujarnya.

Namun baginya, bus belum sepenuhnya tergantikan. “Bagasi pesawat terbatas, jadi kalau belanja banyak, saya pulang pakai bus. Tapi kalau tidak, tetap pakai pesawat. Waktunya lebih singkat, jadi lebih nyaman,” tambahnya.

Dari sisi operator, tekanan dirasakan semakin berat. Ketua Organda Kalbar, Agus Kurnadi, menyebut kesenjangan waktu tempuh dan harga menjadi faktor yang tak terbendung. Tiket pesawat kini berada pada rentang Rp300.000–Rp400.000, tak jauh dari tarif bus sekitar Rp350.000.
“Dengan harga yang hampir sama dan waktu tempuh kurang dari satu jam, masyarakat tentu memilih pesawat,” ujarnya, Rabu (19/112025).

Ia menjelaskan bahwa periode September hingga November memang kerap menjadi masa sepi penumpang. Namun hadirnya kembali rute internasional ini memperparah situasi. “Dampaknya sangat signifikan, apalagi di musim sepi seperti ini,” katanya.

Organda berencana menggelar pertemuan dengan pengusaha di Indonesia dan Kuching untuk membaca ulang peta pasar dan merumuskan langkah strategis.

Agus mendorong agar para pelaku angkutan segera berdialog dengan Pemerintah Daerah, khususnya Gubernur Kalbar. Ia menilai sektor lintas batas menyerap tenaga kerja besar dan menjadi rantai ekonomi yang tidak bisa dibiarkan runtuh.
“Banyak sopir, kernet, hingga usaha pendukung yang bergantung pada sektor ini. Pemerintah perlu mendengar kondisi di lapangan,” tegasnya.

Tanpa intervensi, ia memprediksi sejumlah operator akan memangkas jadwal atau menghentikan layanan sementara. “Kalau terus begini, banyak kendaraan akan berhenti beroperasi. Ini tidak sehat bagi usaha,” ujarnya.

Sebagai opsi jangka panjang, Organda mengusulkan evaluasi rute Pontianak–Kuching. Menurutnya, penyesuaian rute internasional ke destinasi lain seperti Kuala Lumpur atau Penang lebih sesuai kebutuhan masyarakat, terutama untuk keperluan kesehatan. “Rute ke Kuching sangat memengaruhi pengusaha angkutan darat. Kalau bisa, pesawat dialihkan ke rute lain yang lebih bermanfaat,” jelas Agus.

Di tengah tekanan persaingan, General Manager DAMRI Pontianak–Kuching, Ahmad Bukhari, menegaskan bahwa bus tetap relevan.
“Memang banyak penumpang kini memilih pesawat karena lebih cepat dan nyaman. Tapi bus tetap dibutuhkan, terutama oleh orang-orang yang sedang sakit atau membawa barang lebih banyak. Selain itu, masyarakat dari daerah yang bukan Pontianak masih sangat bergantung pada bus,” ujarnya.

DAMRI juga menyiapkan terobosan, salah satunya rute Putussibau–Kuching via PLBN Badau dan Lubuk Antu yang ditargetkan beroperasi November 2025.
“Rute ini kami siapkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan transportasi yang aman, nyaman, sekaligus mendukung kegiatan ekonomi lintas batas,” kata Bukhari.

Mereka juga merencanakan trayek langsung Pontianak–Palangkaraya tanpa transit serta memperluas layanan logistik dengan promo tarif Rp10.000 per pengiriman barang di bawah 5 kilogram. DAMRI menyiapkan armada big bus eksekutif class sebagai upaya meningkatkan daya saing.

Dosen Fakultas Teknik Untan, Said Basalim, menilai pergeseran pilihan moda transportasi ini merupakan konsekuensi logis dari pertimbangan efisiensi pengguna. Harga promo AirAsia sekitar Rp432.000 untuk penerbangan malam hanya sedikit di atas tarif bus Royal Class Rp350.000.
“Ketika harga kompetitif, penumpang memilih moda paling cepat agar punya lebih banyak waktu di tempat tujuan,” katanya.

Ia menilai pemerintah perlu memainkan peran lebih aktif, baik melalui dialog soal batas tarif minimum dengan otoritas Malaysia, maupun dengan memberi insentif kepada operator bus. Skema bundling seperti paket bus + hotel atau bus + wisata dinilai efektif menjaga keseimbangan pasar.

Penurunan 20–40% penumpang membuat operator menghadapi tekanan berat. Dampaknya menjalar ke sopir, kru, petugas lapangan, hingga bengkel rekanan. UMKM di kawasan perbatasan pun ikut terdampak karena kehilangan rombongan penumpang.

Said mengingatkan bahwa jika kecenderungan ini dibiarkan, maka ekosistem ekonomi perbatasan akan merosot. “Transportasi darat lintas perbatasan selama ini penggerak ekonomi,” ujarnya.

Organda memastikan mereka segera menggelar audiensi besar dengan Pemerintah Daerah untuk merumuskan jalan keluar.
“Kami ingin mencari jalan keluar bersama agar pengusaha angkutan darat tetap bisa bertahan dan sektor ini tidak mati,” ujar Agus. []

Fajar Hidayar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com