Peradilan Fiktif Disahkan, Hukum Dipertanyakan

PALANGKA RAYA – Langit mendung menaungi Palangka Raya pada Rabu (07/05/2025) siang, saat Pengadilan Tinggi Palangka Raya membacakan putusan banding dalam kasus pemortalan lahan sawit yang menjerat Kepala Desa Tempayung, Syahyunie. Harapan Koalisi Keadilan untuk Tempayung agar sang kepala desa bebas dari hukuman, pupus seketika. Putusan majelis hakim: menguatkan vonis enam bulan penjara yang sebelumnya dijatuhkan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun.

Putusan itu dibacakan oleh Hakim Ketua Sigit Sutriono, didampingi dua hakim anggota, Bonny Sanggah dan Heru Budiyanto. “Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun Nomor 36/Pid.Sus/2025/PN Pbu tanggal 25 Maret 2025,” ucap Sigit tegas. Tidak ada perubahan, tidak ada pengurangan. Masa penahanan Syahyunie akan tetap dihitung sebagai bagian dari hukuman.

Vonis ini menyulut reaksi keras dari kelompok sipil yang sejak awal mengawal kasus ini. Koalisi Keadilan untuk Tempayung menyebut putusan banding sebagai bentuk pengesahan atas “peradilan fiktif”. Dalam pernyataan sikapnya, mereka mengungkapkan kejanggalan serius: hadirnya nama saksi ahli fiktif dalam salinan putusan PN Pangkalan Bun.

“Ini mencerminkan PN Pangkalan Bun telah menjalankan sebuah bentuk peradilan sesat,” kata Agung Sesa, juru bicara aksi solidaritas yang digelar sehari sebelum putusan banding dibacakan.

Agung mengacu pada nama Zikri Rachmani, seorang saksi ahli yang disebut dalam putusan, namun tidak pernah hadir dalam persidangan maupun proses BAP. Fakta ini memperkuat keyakinan koalisi bahwa ada kejanggalan sistemik dalam proses peradilan Syahyunie.

Syahyunie, kepala desa yang juga pernah menjabat sebagai sekretaris desa selama bertahun-tahun dan dikenal tidak pernah bersentuhan dengan hukum, dituduh sebagai otak di balik aksi pemortalan lahan sawit milik PT Sungai Rangit, Kebun Rauk Naga Estate, Divisi 3 dan 4, Desa Tempayung, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kotawaringin Barat. Pemortalan ini disebut sebagai bentuk perlawanan warga atas ketidakadilan dalam pembagian lahan plasma.

Namun bagi sebagian masyarakat Tempayung, tindakan Syahyunie bukanlah kejahatan. “Beliau hanya membantu masyarakat menyalurkan aspirasi mereka. Motifnya sosial, bukan kriminal,” ujar Agung. Menurutnya, alasan sosial tersebut seharusnya cukup kuat untuk diterapkan pendekatan restorative justice, bukan justru menghukum dengan pidana penjara.

Syahyunie pertama kali dijemput aparat di Bandara Iskandar, Pangkalan Bun, setibanya dari perjalanan dinas di Jakarta pada 27 September 2024. Ia langsung dibawa ke Polres Kotawaringin Barat dan ditetapkan sebagai tersangka. Penahanannya sempat ditangguhkan berkat jaminan dari PD AMAN Kotawaringin Barat dan Camat Kotawaringin Lama. Namun, status tersangka tetap melekat hingga kasus dilimpahkan ke kejaksaan dan ia menjadi tahanan rumah.

Vonis enam bulan dari PN Pangkalan Bun yang dijatuhkan pada 25 Maret 2025 memicu upaya banding dari kedua pihak, baik Jaksa Penuntut Umum maupun kuasa hukum Syahyunie. Harapan muncul, tetapi putusan banding justru mengulang vonis yang sama.

Sementara itu, Janang Firman Palanungkai dari WALHI Kalteng menuding keputusan majelis hakim Pengadilan Tinggi mengabaikan fakta-fakta penting yang sudah disuarakan publik. “Menguatkan putusan PN Pangkalan Bun artinya Pengadilan Tinggi mengamini peradilan fiktif tersebut,” tegasnya. Ia bahkan menyebut adanya indikasi “bisnis kriminalisasi” di balik kasus ini.

Menanggapi tudingan tersebut, Humas Pengadilan Tinggi Palangka Raya, Agung Iswanto, menegaskan bahwa pembacaan putusan pada 7 Mei 2025 tidak ada kaitan dengan aksi solidaritas pada hari sebelumnya. “Itu hanya kebetulan. Seminggu sebelumnya, sidang sudah dijadwalkan,” ujarnya. Mengenai saksi fiktif, Agung mengatakan hal tersebut tidak masuk ke dalam memori banding dari kuasa hukum terdakwa, tetapi pihaknya akan menelusuri lebih lanjut.

Kasus Syahyunie menjadi potret suram wajah keadilan di daerah. Antara perjuangan warga untuk keadilan agraria dan sistem hukum yang diyakini oleh sebagian masyarakat masih tunduk pada kekuasaan dan kepentingan korporasi. Di tengah kebisingan sawit dan jeritan warga desa, vonis itu tak sekadar angka. Ia menjadi simbol pertarungan yang belum usai.[]

Redaksi12

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com