KAIRO – Gencatan senjata di Jalur Gaza yang semestinya membawa napas lega bagi warga sipil justru berubah menjadi panggung ketegangan baru. Di bawah bayang-bayang kehancuran, kekerasan masih bergema, seolah jeda perang hanyalah formalitas politik yang gagal menenangkan amarah bersenjata. Situasi ini kembali menegaskan bahwa perdamaian di Gaza belum pernah benar-benar hidup hanya diistirahatkan sementara.
Sementara dunia menyoroti Gaza, bara konflik lain menyala di Asia Selatan. Bentrokan militer antara Pakistan dan Afghanistan di perbatasan kedua negara menambah daftar krisis global yang nyaris diabaikan. Hingga Rabu (15/10/2025), puluhan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka, menandakan kegagalan diplomasi di kawasan yang sejak lama dijanjikan stabilitas pasca penarikan pasukan Barat.
Konflik terbaru pecah sejak akhir pekan lalu dan kembali memanas pada Selasa (14/10) malam di Spin Boldak, Afghanistan Tenggara, serta Chaman, wilayah Pakistan. Pemerintah Afghanistan di bawah Taliban menuduh Islamabad sebagai pemicu serangan setelah pasukan Pakistan disebut menembakkan senjata ringan dan berat ke wilayah mereka. “Penembakan itu menewaskan 12 warga sipil dan melukai lebih dari 100 orang,” ungkap otoritas Taliban.
Namun, di balik tuding-menuding tersebut, dunia tampak bungkam. Tidak ada tekanan serius dari komunitas internasional terhadap kedua pihak untuk menghentikan kekerasan. Perbatasan Asia Selatan kembali menjadi saksi bagaimana perebutan pengaruh antarnegara seringkali lebih penting daripada nyawa manusia.
Di Amerika Serikat, pemerintahan Donald Trump justru disibukkan dengan urusan dalam negeri. Presiden kontroversial itu kembali menunjukkan kebijakan ekstrem dengan memecat lebih dari 4.100 pegawai pemerintah sejak dimulainya shutdown atau penghentian operasional pemerintahan pada 1 Oktober lalu. Menurut laporan Reuters pada Selasa (14/10/2025), jumlah itu bahkan bisa mencapai 4.278 pegawai, berdasarkan dokumen yang diajukan ke Kementerian Kehakiman.
Pemangkasan tersebut disebut hanya sebagian kecil dari dua juta pegawai sipil yang bekerja di lembaga pemerintah federal. Namun keputusan sepihak Trump memperlihatkan pola lama: gaya kepemimpinan yang memprioritaskan citra tegas di atas stabilitas birokrasi. Di tengah dunia yang bergejolak, Washington tampak sibuk menata kekacauannya sendiri.
Ironi global berlanjut di Jalur Gaza. Saat dunia berharap gencatan senjata menjadi awal dialog, Hamas justru mengeksekusi delapan pria yang dituduh sebagai kolaborator Israel. Video eksekusi brutal itu, disiarkan di kanal Telegram al-Aqsa TV pada Senin (13/10) malam, memperlihatkan para pria berlutut dengan mata tertutup sebelum ditembak dari jarak dekat di hadapan warga yang menonton.
Dalam keterangan resminya, Hamas menyebut tindakan itu sebagai “pelaksanaan hukuman mati terhadap sejumlah kolaborator dan penjahat di Kota Gaza.” Namun, peristiwa itu justru menunjukkan bagaimana kekuasaan di wilayah yang terjepit blokade telah berubah menjadi alat intimidasi di bawah panji “perlawanan.”
Bentrok antara unit keamanan Hamas dan kelompok bersenjata dari berbagai klan Palestina terus terjadi di hari kelima gencatan senjata. Perdamaian yang diklaim sebagai kemenangan diplomatik antara Israel dan Hamas kini tampak seperti ilusi yang runtuh di tengah jalan. Ketika senjata berhenti menyalak, kekerasan tetap berbicara dengan bahasa yang sama: darah dan ketakutan.
Di dunia yang lelah oleh konflik, tragedi di Gaza, perbatasan Pakistan-Afghanistan, hingga Washington yang gemetar oleh kebijakan internal, seakan menjadi potret global yang muram ketika kekuasaan lebih berisik daripada kemanusiaan. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan