KUTAI KARTANEGARA – Pagi di RT 25 Dusun Tani Jaya, Desa Batuah, belum sepenuhnya terang, namun tanah di sana sudah bergerak perlahan. Pergerakan yang bukan akibat gempa atau hujan, tetapi secara senyap merayap di bawah permukaan. Di sepanjang Kilometer 28 Jalan Poros Samarinda–Balikpapan, rumah-rumah warga mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan. Dinding-dinding yang retak, lantai yang bergeser, dan kusen pintu yang goyang dari porosnya, membuat warga hidup dalam kecemasan, khawatir rumah mereka bisa roboh kapan saja.
Pergerakan tanah ini mulai terdeteksi pada Kamis, 24 April 2025, ketika sebelas rumah dilaporkan rusak parah. Beberapa rumah bahkan miring, dan ada yang nyaris ambruk. Jalan lingkungan yang ambles semakin membatasi mobilitas warga. Ketakutan yang mereka rasakan tidak hanya terkait dengan kerusakan fisik, tetapi juga ketidaktahuan tentang apa yang sebenarnya terjadi di bawah tanah. Sebagian warga mengaitkan kejadian ini dengan aktivitas hauling batu bara dan pengeboran sumur air yang ada di sekitar wilayah tersebut.
Getaran mesin dari aktivitas tersebut serta lalu lintas berat dinilai bisa memengaruhi kestabilan tanah. Menanggapi keresahan ini, pemerintah desa menghubungi akademisi dari Universitas Mulawarman (Unmul) untuk melakukan kajian lebih lanjut.
Kepala Desa Batuah, Abdul Rasyid, mengungkapkan bahwa tim dari Laboratorium Geofisika Unmul yang dipimpin oleh Piter Lepong telah melakukan survei geolistrik untuk memetakan struktur tanah bawah permukaan. Hasil awalnya cukup mengkhawatirkan. Mereka menemukan zona tanah jenuh air dengan resistivitas sangat rendah, kurang dari 50 ohm-meter, yang membentang tepat di bawah rumah-rumah yang rusak. Zona ini kemungkinan terdiri dari lempung plastis atau sedimen aluvial yang belum padat, sehingga sangat mudah bergerak saat terisi air.
Piter Lepong menjelaskan bahwa kondisi ini menyebabkan fondasi rumah-rumah warga kehilangan kestabilannya, yang pada gilirannya menyebabkan rekahan tanah dan kerusakan pada bangunan. Berdasarkan temuan tersebut, tim Unmul merekomendasikan dua langkah penanganan, yakni langkah darurat dan kajian teknis lanjutan.
Untuk penanganan darurat, mereka menyarankan pemasangan drainase untuk mengurangi tekanan air tanah, penutupan rekahan tanah agar air hujan tidak menyusup lebih dalam, dan penghentian sementara pengambilan air tanah oleh warga. Sementara itu, untuk langkah jangka panjang, dibutuhkan pengeboran investigatif dan uji laboratorium untuk memahami daya dukung tanah serta merancang konstruksi yang lebih aman.
Pemerintah desa mulai mengambil langkah evakuasi, dengan mengarahkan warga yang rumahnya dinilai tidak aman ke lokasi pengungsian sementara. Namun, beberapa warga memilih untuk tetap tinggal dan hanya meminta tenda di depan rumah, meskipun masih berada dalam zona rawan. “Kami sebenarnya mempertimbangkan keselamatan warga, karena kalau hanya pindah ke depan rumah tapi masih dalam zona rawan, itu tetap berbahaya,” kata Rasyid.
Tim Unmul juga mengimbau agar warga tidak menggunakan bagian rumah yang telah mengalami kerusakan signifikan. Retakan besar, kusen yang bergeser, dan lantai yang tidak rata menjadi tanda bahwa bangunan tersebut sudah tidak layak huni.
Survei ini menjadi pijakan awal untuk memahami pergerakan tanah di Dusun Tani Jaya. Namun, untuk mencegah kerugian yang lebih besar, relokasi permanen dan pembangunan ulang dengan standar geoteknik yang lebih ketat harus segera dirancang. Tanah yang tampak diam ini menunjukkan bahwa pergerakannya bisa cukup besar untuk mengubah hidup sebuah kampung. []
Redaksi11
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan