Perlindungan Anak Terjebak di Meja Rapat

KUTAI KARTANEGARA – Ironi mewarnai peringatan Hari Santri Nasional di Kutai Kartanegara (Kukar). Di tengah seruan kejujuran dan keteladanan moral, kasus pelecehan seksual di salah satu pondok pesantren (Ponpes) di Tenggarong Seberang justru menunjukkan potret suram: korban menunggu keadilan, sementara negara sibuk berkoordinasi.

Kasus yang mencuat sejak beberapa bulan lalu seolah berjalan di tempat. Tim adhoc yang dibentuk berdasarkan hasil rapat dengar pendapat di DPRD Kukar hingga kini belum juga turun ke lokasi. Alasannya, masih menunggu koordinasi dengan DPRD. Namun di sisi lain, DPRD menyatakan tanggung jawab teknis sudah sepenuhnya dilimpahkan ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kukar.

Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) P2TP2A DP3A Kukar sekaligus Ketua Tim Adhoc Penanganan Kasus Ponpes Tenggarong Seberang, Faridah, beralasan timnya belum bergerak karena masih menunggu konfirmasi dari dewan. “Kami sudah melakukan rapat-rapat dan menyiapkan tim, termasuk psikolog dan psikiater. Tapi sebelum ke lapangan, kami harus berkoordinasi dengan DPRD. Ada beberapa hal yang perlu disinkronkan dulu,” ucapnya beberapa waktu lalu.

Namun pernyataan itu bertolak belakang dengan klarifikasi Ketua Komisi IV DPRD Kukar, Andi Faisal, yang menyebutkan pihaknya telah menyerahkan penanganan penuh kepada DP3A. “Kasus itu sudah kami serahkan ke DP3A agar mereka bisa bekerja paralel dengan kepolisian. Kami tetap pantau, tapi eksekusinya ada di mereka,” tegasnya di Tenggarong, Selasa (21/10/2025).

Kondisi ini menimbulkan kebuntuan. DP3A menunggu DPRD, DPRD mengaku sudah menyerahkan ke DP3A. Akibatnya, penanganan korban yang seharusnya cepat berubah menjadi lingkaran koordinasi tanpa hasil. Di balik meja rapat dan kalimat diplomatis itu, ada santri-santri yang masih menanggung trauma tanpa pendampingan.

Meski ranah hukum menjadi wewenang kepolisian, Tim Adhoc DP3A memiliki mandat sosial untuk turun langsung menilai kondisi korban dan memastikan tidak ada pelanggaran baru. Namun hingga kini, belum ada asesmen, evaluasi, atau upaya pemulihan nyata di lapangan. Yang bergerak hanyalah dokumen rapat dan pernyataan kesiapan.

Publik pun mulai kehilangan kesabaran. Perlindungan anak tampak hanya sebatas jargon di atas kertas, bukan komitmen di lapangan. Dalam situasi seperti ini, dana dan janji menjadi tidak berarti tanpa tindakan.

Andi Faisal mengatakan DPRD Kukar telah menyiapkan tambahan anggaran sekitar Rp1 miliar untuk memperkuat program DP3A pada tahun depan, termasuk sosialisasi dan pencegahan di pesantren. “Kami ingin DP3A bisa lebih maksimal. Kami bantu lewat anggaran supaya kasus serupa tak terulang,” ujarnya.

Namun masyarakat menilai, penambahan anggaran tidak akan membawa perubahan jika lembaga pelaksana tetap lamban. Apa gunanya miliaran rupiah jika langkah pertama saja belum diambil?

Hari Santri Nasional seharusnya menjadi momentum meneguhkan nilai moral dan tanggung jawab sosial. Namun di Kukar, momen itu justru memperlihatkan lemahnya tanggung jawab negara terhadap anak-anak korban kekerasan di lingkungan pendidikan agama.

Di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman dan penuh kasih, santri justru menjadi korban. Kini, ketika mereka membutuhkan perlindungan, mereka dihadapkan pada birokrasi yang berputar tanpa ujung.

Faridah menegaskan, timnya tidak tinggal diam. “Kami tetap komitmen, semua sedang disiapkan agar langkah kami benar-benar membawa perlindungan bagi korban,” ucapnya.

Namun publik kini tidak lagi menunggu janji. Mereka menunggu tindakan nyata. Sebab keadilan tidak bisa hadir dari meja rapat ia hanya hadir ketika negara benar-benar berpihak kepada korban. []

Penulis: Jemi Irlanda Haikal | Penyunting: Rasidah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com