YERUSALEM – Dalam sebuah acara penandatanganan proyek permukiman besar di Maale Adumim, Tepi Barat, Kamis (11/09/2025), Netanyahu menegaskan penolakannya terhadap pembentukan negara Palestina.
“Kami akan memenuhi janji kami bahwa tidak akan ada negara Palestina, tempat ini milik kami,” ujar Netanyahu, seperti dikutip dari AFP. Ia menambahkan, “Kami akan melindungi warisan kami, tanah kami, dan keamanan kami… Kami akan menggandakan populasi kota ini.”
Pernyataan tersebut disampaikan di Maale Adumim, salah satu permukiman Israel di sebelah timur Yerusalem, yang selama ini menjadi titik sentral kontroversi. Lokasinya berada di wilayah yang dikenal sebagai E1, area seluas sekitar 12 kilometer persegi yang sejak lama diperebutkan. Israel telah berambisi membangun di atas lahan tersebut, namun rencana itu sempat terhenti bertahun-tahun karena menghadapi penolakan keras dari komunitas internasional.
Pada Agustus lalu, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich secara terbuka mendukung pembangunan sekitar 3.400 unit rumah di kawasan itu. Dukungan tersebut langsung menuai kecaman global. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres, bahkan memperingatkan bahwa pembangunan tersebut berpotensi memutus Tepi Barat menjadi dua bagian. Menurutnya, langkah Israel itu bisa menimbulkan “ancaman eksistensial” bagi terbentuknya negara Palestina yang berdaulat.
Rencana pembangunan di E1 juga menuai sorotan dari beberapa negara Barat. Inggris dan Prancis, misalnya, menyatakan siap mendukung pengakuan resmi Palestina di PBB jika Israel tetap menolak gencatan senjata dalam perang Gaza yang berkepanjangan sejak Oktober 2023. Perang itu sendiri dipicu oleh serangan kelompok militan Hamas ke wilayah Israel dan berujung pada eskalasi konflik yang menewaskan ribuan orang.
Seluruh permukiman Israel di Tepi Barat yang diduduki sejak perang 1967 secara konsisten dianggap ilegal menurut hukum internasional. Meski Israel kerap mengeluarkan izin perencanaan internal, dunia internasional tidak mengakui legalitas pembangunan tersebut.
Di tengah ketegangan itu, kelompok masyarakat sipil Israel seperti LSM Peace Now turut bersuara. Organisasi yang memantau aktivitas permukiman Israel itu menyebutkan bahwa persiapan infrastruktur di kawasan E1 kemungkinan mulai berjalan dalam beberapa bulan ke depan, dengan pembangunan rumah-rumah baru diproyeksikan dimulai sekitar satu tahun mendatang.
Sementara itu, sejumlah menteri dari koalisi sayap kanan pemerintahan Netanyahu secara terbuka menyerukan agar Israel segera melakukan aneksasi penuh terhadap wilayah Tepi Barat. Seruan ini semakin memperlebar jurang perbedaan pandangan dengan dunia internasional yang terus menekankan pentingnya solusi dua negara sebagai jalan keluar konflik berkepanjangan.
Tepi Barat sendiri kini dihuni oleh sekitar tiga juta warga Palestina dan lebih dari 500 ribu pemukim Israel. Pertumbuhan permukiman di kawasan tersebut kerap disebut sebagai hambatan utama dalam proses perdamaian.
Bagi warga Palestina, pengumuman terbaru Netanyahu dipandang sebagai bentuk penolakan terang-terangan terhadap hak mereka untuk memiliki negara merdeka. Sementara bagi Israel, terutama kalangan pendukung sayap kanan, langkah ini dianggap sebagai cara mempertahankan identitas nasional dan memperkuat posisi di wilayah yang mereka klaim sebagai tanah leluhur.
Konteks politik regional juga semakin memanas. Beberapa negara Arab mengkritik keras langkah Israel, sementara dukungan untuk pengakuan Palestina di forum internasional kian menguat. Meski demikian, posisi Amerika Serikat sebagai sekutu utama Israel diyakini tetap berpengaruh besar dalam menentukan arah kebijakan jangka panjang di kawasan itu.
Pernyataan Netanyahu di Maale Adumim menunjukkan bahwa isu Palestina-Israel masih jauh dari kata selesai. Alih-alih mendekatkan solusi damai, langkah tersebut justru semakin mempertegas jurang perbedaan yang sulit dijembatani. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan