KOLOMBO – Penembakan terhadap politisi oposisi Sri Lanka, Lasantha Wickramasekara, menjadi tamparan keras bagi pemerintahan Presiden Anura Kumara Dissanayake yang baru setahun berkuasa dengan janji menegakkan hukum dan ketertiban. Ironisnya, justru di bawah kepemimpinan yang mengusung semangat reformasi hukum itu, seorang politisi tewas ditembak di ruang kerjanya sendiri, memperlihatkan betapa rapuhnya keamanan dan lemahnya penegakan hukum di negara tersebut.
Wickramasekara (38), Ketua Dewan Kota Weligama dari partai oposisi Samagi Jana Balawegaya (SJB), ditembak mati saat tengah bertemu dengan warga konstituennya, Rabu (22/10/2025). “Penyelidikan sedang dilakukan untuk melacak pelakunya,” kata polisi dalam pernyataan resminya. Namun, seperti banyak kasus serupa sebelumnya, penyelidikan sering kali berakhir tanpa hasil dan publik hanya disuguhi janji penyelidikan tanpa kejelasan.
Pelaku yang menggunakan revolver itu dengan mudah menerobos masuk ke kantor dewan kota, melepaskan beberapa tembakan, lalu melarikan diri tanpa ada perlawanan berarti. Tidak ada korban lain dalam insiden tersebut, namun kejadian ini mempertegas betapa lemahnya sistem keamanan terhadap pejabat publik, terutama bagi mereka yang berseberangan dengan kekuasaan.
Motif penembakan belum diungkap, tetapi publik Sri Lanka skeptis dengan klaim “motif belum jelas” yang kerap menjadi alasan klasik aparat. Dalam iklim politik yang sarat ketegangan dan perebutan kekuasaan antara SJB dan partai yang berkuasa, sulit untuk menafsirkan insiden ini sekadar sebagai kejahatan biasa.
Sri Lanka saat ini tengah menghadapi lonjakan kejahatan kekerasan yang sebagian besar terkait geng narkoba dan kejahatan terorganisir. Namun, ketika kekerasan mulai menyasar politisi oposisi, garis batas antara kriminalitas dan politik menjadi semakin kabur. Data resmi mencatat sedikitnya 50 orang tewas dalam lebih dari 100 aksi penembakan sepanjang tahun ini.
Ironisnya, pembunuhan Wickramasekara adalah yang pertama menimpa seorang politisi sejak Dissanayake naik ke tampuk kekuasaan dengan janji besar “memulihkan hukum dan ketertiban”. Fakta ini memperlihatkan kontradiksi antara retorika politik dan realitas di lapangan. Di tengah janji stabilitas dan penegakan hukum, negara justru terjerumus dalam spiral kekerasan yang semakin brutal.
Sebelumnya, pada Februari lalu, seorang pria bersenjata berpakaian seperti pengacara menembak mati seorang tersangka di dalam gedung pengadilan di Kolombo. Kejadian itu sempat mengguncang kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Kini, penembakan terhadap politisi oposisi menambah daftar panjang kegagalan negara dalam melindungi warganya, terutama mereka yang kritis terhadap kekuasaan.
Jika pemerintah Dissanayake tidak segera menindak tegas pelaku dan mengembalikan rasa aman publik, maka janji pemulihan hukum yang digaungkan sejak awal kepemimpinan hanya akan terdengar seperti retorika kosong. Kematian Wickramasekara bukan sekadar kehilangan satu nyawa, melainkan simbol runtuhnya kepercayaan terhadap negara yang gagal menjaga warganya dari peluru di tengah janji penegakan hukum yang tak kunjung nyata. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan