Pontianak Kebut Eliminasi TBC, Raperda dan Kawasan Tanpa Rokok Disiapkan

PONTIANAK – Pemerintah Kota Pontianak menegaskan komitmennya dalam mempercepat eliminasi penyakit tuberculosis (TBC). Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, menyampaikan bahwa komitmen ini tercermin dari tren penurunan jumlah kasus TBC secara signifikan dalam dua tahun terakhir.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Pontianak, selama tahun 2024 tercatat sebanyak 1.838 kasus TBC. Angka ini menunjukkan penurunan yang cukup drastis dibandingkan tahun sebelumnya, yang mencapai 2.435 kasus.

“Ini menandakan langkah-langkah yang telah kita lakukan tepat sasaran dan keberhasilan pengobatan sebanyak 91,18 persen,” ujar Edi usai mengikuti rapat koordinasi bersama Tim Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Percepatan Eliminasi Tuberkulosis (TBC) dari Komisi IX DPR RI dalam kunjungan kerja di Balai Petitih Kantor Gubernur Kalbar, Kamis (22/5/2025).

Selain pendekatan dari sisi layanan kesehatan, upaya legislatif juga ditempuh melalui penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Percepatan Penanggulangan Tuberkulosis. Raperda tersebut diinisiasi oleh DPRD Kota Pontianak untuk memperkuat kerangka hukum dalam menangani TBC secara sistematis dan menyeluruh.

Edi berharap, raperda ini akan memberi dampak positif terhadap efektivitas dan efisiensi pelayanan masyarakat dalam menangani TBC. Ia menekankan bahwa hal ini juga menjadi bagian dari program prioritas 100 hari kerjanya pada periode kedua masa kepemimpinannya.

“Ini sebagai bentuk kepedulian semua pihak mengingat Indonesia berada di peringkat kedua dunia penyebaran TBC tertinggi setelah India menurut data World Health Organization (WHO),” tambahnya.

Selain itu, Wali Kota juga menyampaikan bahwa pihaknya tengah menginisiasi penyusunan Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang diperluas ruang lingkupnya. Dalam raperda tersebut, akan diatur pelarangan merokok di berbagai ruang publik seperti tempat wisata, taman kota, fasilitas olahraga, tempat hiburan, terminal, pelabuhan, hingga bandar udara. Perda ini juga mencakup pengaturan terhadap rokok elektrik yang sebelumnya belum diakomodasi dalam Perda Nomor 10 Tahun 2010.

“Hal baru di dalam raperda ini juga mengatur sanksi biaya paksaan penegak hukum yang setiap denda dari pelanggaran akan masuk ke dalam kas daerah. Beberapa penyesuaian ini kita usulkan karena Perda sebelumnya tidak sesuai lagi dengan peraturan perundang-undangan di atasnya,” jelas Edi Kamtono.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Tim Panja Pengawasan Percepatan Eliminasi Tuberculosis dari Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh, menyampaikan bahwa kunjungan kerja ke Provinsi Kalimantan Barat bertujuan untuk meninjau langsung upaya penanggulangan TBC di wilayah tersebut. Menurutnya, meskipun Kalbar bukan termasuk daerah dengan prevalensi tertinggi, wilayah ini memiliki tantangan tersendiri karena kondisi geografis yang luas dan terpencar.

“Terutama karena kondisi geografis yang luas dan terpencar,” ujarnya.

Ia menyoroti minimnya fasilitas diagnosis TBC seperti Tes Cepat Molekuler (TCM) dan alat X-ray di daerah. Saat ini, menurut laporan dari Wakil Gubernur dan Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar, hanya terdapat satu unit TCM di tingkat kabupaten.

“Tadi sudah disampaikan oleh Pak Wakil Gubernur dan Kepala Dinas Kesehatan, bahwa peralatan seperti TCM dan X-ray masih sangat terbatas. Saat ini di tingkat kabupaten baru tersedia satu alat TCM. Ini tentu perlu ditambah agar kita bisa mengetahui seberapa besar sebenarnya jumlah kasus TBC di Kalbar,” ucap Nihayatul.

Ia juga menekankan pentingnya pendampingan intensif bagi pasien selama menjalani pengobatan TBC, yang memerlukan waktu minimal enam bulan. Menurutnya, deteksi dini perlu ditingkatkan agar pasien bisa segera dirujuk ke puskesmas terdekat dan mendapatkan pemantauan rutin dari tenaga kesehatan.

“Selama ini, pasien TBC baru terdeteksi saat sudah berada di rumah sakit. Kita dorong agar setelah diagnosis, pasien bisa dikembalikan ke puskesmas untuk pemantauan, karena puskesmas lebih mampu mengawasi kedisiplinan pasien dalam minum obat,” katanya.

Tim Panja juga mendorong agar Kalbar segera memiliki laboratorium TBC sendiri. Saat ini, sampel uji masih dikirim ke Rumah Sakit dr Soetomo di Surabaya, yang dinilai kurang efisien dan memperlambat proses diagnosis lanjutan. []

Redaksi11

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
X