PARIS – Presiden Prancis Emmanuel Macron menegaskan bahwa negaranya tetap berkomitmen untuk mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Meski demikian, ia menambahkan syarat khusus terkait pembukaan kantor kedutaan besar di wilayah Palestina. Macron menyatakan langkah itu baru akan diwujudkan setelah Hamas melepaskan para sandera yang saat ini masih ditahan di Jalur Gaza.
Dalam wawancara dengan CBS News pada Minggu (21/09/2025), Macron menyampaikan garis kebijakan Prancis yang tegas terkait isu tersebut. “Bagi kami, ini akan menjadi persyaratan yang sangat jelas sebelum membuka, misalnya, sebuah kedutaan di Palestina,” ujarnya.
Pernyataan itu disampaikan di tengah dinamika politik internasional yang semakin intens menjelang Sidang Majelis Umum PBB di New York. Beberapa negara Barat, seperti Inggris, Australia, Kanada, dan Portugal, telah mengumumkan pengakuan resmi terhadap Palestina. Langkah mereka dinilai sebagai dorongan baru bagi perjuangan diplomatik rakyat Palestina yang selama beberapa dekade berupaya mewujudkan kemerdekaan penuh.
Macron juga sebelumnya menegaskan sikap penolakannya terhadap kemungkinan pemindahan paksa warga Gaza ke luar wilayah mereka dalam rencana pembangunan kembali kawasan tersebut. Ia menilai skenario itu sama sekali tidak bisa diterima oleh komunitas internasional. “Jika prasyarat dari rencana tersebut adalah untuk mengusir mereka, ini hanyalah kegilaan. Kita tidak boleh, demi kredibilitas Amerika Serikat, demi kredibilitas Prancis, secara implisit atau eksplisit berpuas diri dengan proyek semacam itu,” kata Macron.
Dukungan terhadap pengakuan Palestina pun mengalir dari berbagai pihak. Mahmud Mardaw, pejabat senior Hamas, menilai langkah itu sebagai simbol penting bagi perjuangan panjang rakyat Palestina. “Perkembangan ini merupakan kemenangan bagi hak-hak Palestina dan keadilan perjuangan kami,” ujar Mardaw kepada kantor berita AFP.
Dalam komunike yang dirilis Hamas pada hari yang sama, mereka kembali menegaskan bahwa pengakuan dari komunitas internasional seharusnya tidak berhenti pada tataran deklarasi politik. Hamas mendesak agar pengakuan tersebut segera diikuti dengan tindakan nyata, termasuk penghentian serangan di Jalur Gaza. Mereka menyebut serangan itu sebagai “perang genosida” terhadap rakyat Palestina, sekaligus memperingatkan bahaya aneksasi dan upaya yudaisasi yang terus berlangsung di Tepi Barat dan Yerusalem.
Namun, sikap sejumlah negara Barat ini menimbulkan reaksi keras dari Israel. Presiden Israel Isaac Herzog menyatakan keberatan atas keputusan beberapa negara yang mengakui Palestina. Ia menilai langkah itu justru kontraproduktif terhadap upaya perdamaian. “Ini tidak akan membantu satu pun warga Palestina, tidak akan membantu membebaskan satu pun sandera. Dan itu tidak akan membantu kita mencapai penyelesaian apa pun antara Israel dan Palestina. Ini hanya akan mendorong kekuatan kegelapan. Ini adalah hari yang menyedihkan bagi mereka yang mencari perdamaian sejati,” tegas Herzog.
Dinamika ini memperlihatkan betapa rumitnya isu Palestina dalam percaturan global. Di satu sisi, semakin banyak negara yang mengakui kedaulatan Palestina, mencerminkan dukungan luas terhadap aspirasi kemerdekaan mereka. Namun di sisi lain, Israel dan sekutunya tetap menentang pengakuan itu dengan alasan keamanan dan stabilitas kawasan.
Macron, melalui sikapnya, tampak berusaha menjaga keseimbangan antara dukungan terhadap Palestina sekaligus menekan Hamas agar melepaskan para sandera. Bagi Prancis, pengakuan politik perlu diiringi tanggung jawab kemanusiaan. Meski demikian, perdebatan tetap terbuka mengenai apakah langkah Prancis dan negara-negara Barat lain dapat benar-benar membawa perubahan signifikan di lapangan.
Pertanyaan utama kini adalah apakah pengakuan internasional dapat mengakhiri konflik panjang dan membuka jalan menuju solusi dua negara yang selama ini mandek. Dengan kondisi di Gaza yang kian memburuk dan Tepi Barat yang terus dilanda ketegangan, tantangan untuk mencapai perdamaian tetap sangat besar. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan