JAKARTA – Kenaikan produksi beras dan jagung yang dilaporkan meningkat masing-masing sebesar 51 persen dan 39 persen tidak serta-merta menjadi bukti bahwa ketahanan pangan nasional telah terwujud. Peningkatan produksi itu dinilai harus bersifat berkelanjutan dan tidak hanya menjadi capaian sesaat. Hal tersebut disampaikan Pengamat Pertanian dari Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi Universitas Warmadewa, Muliarta, saat dimintai tanggapan atas laporan Kementerian Pertanian mengenai peningkatan hasil pertanian, Minggu (1/6).
Menurut Muliarta, pencapaian tersebut memang menunjukkan kemajuan, namun ketahanan pangan memiliki cakupan lebih luas yang tidak cukup hanya dinilai dari aspek produksi. Ia menekankan bahwa untuk mencapai ketahanan pangan, setidaknya harus dipenuhi tiga indikator utama.
“Penting untuk dicatat bahwa meskipun peningkatan produksi beras dan jagung menunjukkan kemajuan, hal itu belum cukup untuk menegaskan bahwa ketahanan pangan telah terwujud. Ketahanan pangan adalah konsep yang lebih kompleks dan harus memenuhi tiga indikator,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa indikator pertama adalah jaminan ketersediaan pangan dalam jangka panjang. Peningkatan produksi harus diiringi praktik pertanian berkelanjutan melalui pengelolaan sumber daya alam yang bijak, penerapan teknologi tepat guna, dan perlindungan lahan agar tidak rusak atau tercemar.
Indikator kedua, kata Muliarta, adalah pemerataan distribusi pangan ke seluruh wilayah. Ia menilai, meskipun produksi tinggi, tetapi jika distribusinya tidak efektif, akan menimbulkan ketimpangan antara daerah surplus dan defisit. Ia menegaskan pentingnya dukungan infrastruktur dan sistem logistik yang mampu menjangkau hingga wilayah terpencil. “Infrastruktur yang baik dan sistem logistik yang efektif sangat diperlukan untuk memastikan pangan dapat menjangkau seluruh wilayah, terutama daerah terpencil,” katanya.
Selain itu, kualitas pangan juga menjadi indikator yang tak bisa diabaikan. Ia menegaskan bahwa hasil pertanian yang melimpah tidak akan berarti jika kandungan gizinya rendah atau tidak sesuai kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, menurutnya, diversifikasi pangan juga harus menjadi prioritas, bukan sekadar mengejar jumlah komoditas utama seperti beras dan jagung.
Muliarta menjelaskan bahwa diversifikasi pangan tidak hanya menjadi pelengkap, melainkan bagian penting dari sistem ketahanan pangan yang tangguh. Dengan variasi dalam produksi dan konsumsi pangan, ketahanan pangan nasional dapat diperkuat. Ia menyebut diversifikasi juga akan melindungi masyarakat dari risiko krisis apabila terjadi kegagalan panen pada komoditas utama. “Diversifikasi dapat meningkatkan ketahanan pangan dengan menyediakan sumber makanan alternatif yang dapat memastikan pasokan tetap ada saat terjadi gagal panen pada komoditas utama,” tuturnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Pertanian RI, Sudaryono, menyampaikan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional pada kuartal I-2025 mengalami lonjakan hingga 51 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sementara jagung meningkat sebesar 39 persen. “Data ini mengacu pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis baru-baru ini. Ini capaian luar biasa berkat kerja keras petani sebagai aktor utama, serta dukungan dari berbagai pihak,” kata Sudaryono. []
Redaksi11