Program Makanan Bergizi Gratis Dinilai Hanya “Mengenyangkan” Tanpa Edukasi

KUTAI KARTANEGARA – Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang telah berjalan sekitar enam bulan mulai menunjukkan berbagai dinamika di tingkat implementasi. Beberapa sekolah di Kalimantan Timur dilaporkan menyajikan menu tunggal seperti spageti atau burger, khususnya di wilayah Kutai Kartanegara, menimbulkan kekhawatiran para ahli gizi.

Fenomena ini mendapatkan perhatian serius dari akademisi gizi Universitas Mulawarman. Nurul Afiah, Koordinator Program Studi Sarjana Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unmul, menegaskan bahwa penyajian menu tunggal dalam program MBG tidak sesuai dengan pedoman resmi pemerintah.

“Menu Tunggal pada program MBG di sekolah tidak sesuai dengan prinsip gizi seimbang, setahu saya dalam pedoman standar gizi MBG yang dilaunching pada Desember 2024 lalu oleh Kemenkes jelas menegaskan bahwa menu MBG harus mengikuti prinsip gizi seimbang seperti diatur dalam Pedoman Gizi Seimbang (Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 Tahun 2014),” ujarnya.

Menurut Nurul, anak usia sekolah membutuhkan asupan energi, protein, vitamin, dan mineral yang lengkap dalam setiap kali makan untuk mendukung aktivitas belajar dan menjaga kesehatan. “Apalagi kalau menunya spageti saja, jelas tidak akan ada vitamin mineral dari sayurnya, protein yang minim dari cacahan daging toppingnya dan hanya dominan karbohidrat dari mie spagetinya saja. Jadi sebaiknya dalam merancang dan menentukan menu MBG tetaplah diarahkan untuk menu piring lengkap, dan bukan menu Tunggal,” tegasnya.

Dinamika lain yang muncul adalah keinginan sebagian anak agar menu MBG diganti dengan makanan yang lebih populer seperti nasi padang. Permintaan ini terekam dalam beberapa video yang beredar di media sosial.

Terkait hal ini, Nurul memberikan peringatan penting. “Selera anak memang penting, karena makanan yang tidak disukai berpotensi tidak dimakan dan akhirnya kebutuhan gizi tidak terpenuhi. Namun, nasi padang (atau makanan sejenis) seringkali tinggi lemak, santan, garam, dan kalori, sehingga jika dikonsumsi terlalu sering bisa berisiko obesitas dan penyakit tidak menular di kemudian hari,” jelasnya.

Dia menekankan bahwa program MBG tidak hanya sekadar memberikan makanan, tetapi juga menjadi media edukasi gizi bagi peserta didik. “Standar menu MBG disusun dengan perhitungan gizi seimbang. Anak perlu dibiasakan mengenal sayur, buah, lauk nabati, lauk hewani, dan pangan lokal secara seimbang. Anak perlu belajar bahwa makanan sehat tidak selalu identik dengan yang ‘gurih/berlemak’,” tutur Nurul.

Meski demikian, Nurul menyarankan pentingnya fleksibilitas dalam penyajian menu. Menu bisa dikreasikan agar lebih familiar dengan cita rasa lokal khas Kalimantan Timur. “Menu bisa dikreasikan agar familiar dengan cita rasa lokal khas Kaltim, contoh ayam bumbu habang, sayur asam kutai, atau pepes ikan gabus, sehingga anak lebih mudah menerima,” tambahnya.

Nurul menegaskan bahwa keberhasilan program MBG tidak hanya diukur dari distribusi makanan, tetapi sejauh mana anak terbiasa dengan pola makan sehat. Dia menekankan perlunya edukasi yang berkelanjutan agar anak tidak hanya makan, tapi juga memahami alasan di balik pilihan menu tersebut. Dengan demikian, program MBG tidak hanya sekadar mengenyangkan, tetapi mampu membentuk kebiasaan makan sehat jangka panjang yang akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa depan.[]

Admin05

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com