JAKARTA – Yuni Sri Rahayu berkampanye dari pintu ke pintu atau secara tandem. Dia fokus mengedukasi pemilih bahwa diskriminasi pekerja rumah tangga (PRT) masih terjadi, juga tentang Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang belum juga disahkan. Beberapa waktu belakangan, kesibukan Yuni Sri Rahayu bertambah. Selain mengurus rumah tempat bekerja, dia harus memperkenalkan dirinya kepada pemilih di daerah pemilihan (dapil).
Yuni maju di dapil Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 7 yang meliputi wilayah Cilandak, Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Setia Budi, dan Pesanggrahan. Dia harus bersaing dengan 172 calon legislatif (caleg) lain, termasuk Petahana dari partai politik (parpol) besar, untuk berebut sepuluh kursi di dapilnya.
Pencalonan Yuni tidak terlepas dari dorongan teman-temannya di Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT). Dia bergabung sejak 2014 lalu dan kini menjadi pengurus di organisasi itu. “Saya disuruh maju untuk perwakilan kawan-kawan,” ujar Yuni kepada wartawan, Selasa (06/02/2024) lalu.
Dialah satu-satunya caleg dengan latar belakang PRT dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Yuni pun awalnya juga menolak saat awal didorong menjadi caleg oleh teman-temannya. Sebab, dia yakin pencalonan itu butuh biaya besar. Apalagi untuk dirinya yang bekerja sebagai PRT
Levelnya Dewan Perwakilan Rakyat Dearah (DPRD) Provinsi (Prov.) DKI Jakarta pula. Namun, setelah benar-benar maju, Yuni baru menyadari bahwa pikirannya salah. Di Partai Buruh, Yuni tidak pernah dimintai dana untuk pencalonan. “Dana saya yang keluar itu hanya untuk APK (alat peraga kampanye). Untuk kampanye, ada juga yang tandem sama anggota DPR,” jelasnya.
Bila dihitung, sejak awal tes narkotika sebagai syarat awal pendaftaran hingga saat ini, Yuni mengaku keluar uang tidak sampai Rp 2 juta. Dia tidak memasang baliho besar-besar atau spanduk untuk mengampanyekan dirinya sendirian karena biayanya amat mahal. Sebagai gantinya, Yuni menerapkan kampanye terbuka dengan menyapa pemilih dari pintu ke pintu. Itu dilakukannya di luar jam kerja atau saat dia libur.
Warga Cipete, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tersebut bekerja sebagai PRT model pocokan atau paruh waktu. Maksudnya, tidak menetap di satu majikan, tapi bekerja di sejumlah rumah tangga secara bergantian.
Saat kampanye, Yuni juga hanya memberikan atribut berupa poster, stiker, gantungan kunci, dan kalender kepada warga yang dia temui. “Saya menyebut diri sendiri caleg nggak (tidak, red) punya modal, caleg duafa, karena memang nggak punya uang kayak yang lain. Tidak bisa berkampanye yang bisa kasih minyak atau kasih apa pun,” ucap perempuan kelahiran 14 Juni 1982 itu.
Selama bertemu masyarakat, tidak jarang Yuni mengalami penolakan. Namun, dia menyikapi setiap respons positif dan negatif dengan bijak. “Kalau misalnya ditanyain (ditanya, red) dapat apa, mana kaus, mana minyak, ya kami bilang kami nggak punya kaus. Kami sosialisasi seadanya. Kami menghindari politik uang atau melebihi dari yang diaturkan,” ungkapnya.
Dalam kampanyenya, Yuni fokus mengedukasi pemilih bahwa diskriminasi PRT masih terjadi di Indonesia. Juga ada RUU PPRT yang hingga saat ini belum juga disahkan. Menurut Yuni, dirinya mencalonkan diri sebagai anggota legislatif untuk menyuarakan dua hal tersebut.
Bila tidak bisa menemui pemilih secara langsung, Yuni bersama serikatnya gencar berkampanye lewat media sosial (medsos). Itu pun sebenarnya tak mudah bagi Yuni. Tidak jarang muncul komentar yang menyudutkan atau bahkan meremehkan.
“Jujur saja, awalnya sampai kena mental. Tapi, karena dorongan teman-teman PRT, dan aku juga mikir (pikir, red) kalau nggak semua paham, nggak semua tahu aku. Makanya maju terus,” katanya.
Kini ibu empat anak itu pasrah dengan hasil akhirnya. “Menang atau nggak, saya nggak terlalu ambil pusing. Saya juga masih kerja. Walaupun nggak menang, saya juga nggak stres mikirin dana yang habis berapa. Karena saya, jujur saja, mimpi jadi caleg juga nggak,” imbuhnya.
Yuni hanya berharap ada caleg terpilih yang mau memperjuangkan isu diskriminasi PRT serta perlindungan sosial untuk anak dan perempuan. “Andainya saya nggak menang, semoga isu yang saya mau sampaikan ada yang memperjuangkan, kalau terpilih alhamdulillah. Terpilih atau nggak, saya tetap aktif advokasi, khususnya pekerja rumah tangga,” jelasnya. []
Redaksi07