KYIV – Perang antara Rusia dan Ukraina kembali menampilkan wajah kelamnya bukan lewat gempuran roket atau laporan kemenangan militer, melainkan melalui pertukaran jenazah para prajurit muda yang gugur di medan perang. Pemerintah Ukraina menyebut Rusia telah mengembalikan 1.000 jenazah tentaranya yang gugur, sementara Moskow mengonfirmasi 31 jenazah tentaranya telah dibawa dari Kyiv. Di balik angka itu, tergambar ironi sebuah konflik yang kini seolah hanya menghitung nyawa sebagai bagian dari negosiasi politik.
Dilansir AFP, Jumat (24/10/2025), pertukaran tawanan perang dan jenazah menjadi salah satu bentuk kesepakatan antara Kyiv dan Moskow sejak invasi Rusia pada Februari 2022. Namun kesepakatan semacam ini kini terasa seperti rutinitas tragis, di mana diplomasi kemanusiaan berubah menjadi ritual tahunan bagi dua negara yang gagal menghentikan mesin perangnya sendiri.
“Langkah-langkah repatriasi telah dilakukan hari ini,” kata Markas Koordinasi Ukraina untuk Penanganan Tawanan Perang melalui media sosial. “Seribu jenazah, yang menurut pihak Rusia adalah prajurit Ukraina, telah dikembalikan ke Ukraina,” tambahnya.
Kata “repatriasi” terdengar begitu steril, seolah memulangkan nyawa manusia hanyalah urusan logistik belaka. Dalam repatriasi sebelumnya, Rusia juga telah menyerahkan jenazah tentara Ukraina. Pada bulan September, Agustus, dan Juli, Kyiv menerima sekitar 1.000 jenazah dari Rusia, angka yang justru menegaskan betapa intens dan brutalnya pertempuran di garis depan.
Markas Koordinasi Ukraina menyebut, penegak hukum akan segera memulai proses identifikasi terhadap jenazah yang telah dipulangkan, seraya menyampaikan terima kasih kepada Komite Palang Merah Internasional atas perannya. Namun, terlepas dari segala upacara kemanusiaan itu, publik kian menyadari bahwa setiap jenazah yang kembali ke tanah air bukan sekadar korban, melainkan bukti gagalnya negosiasi perdamaian.
Puluhan ribu tentara dari kedua belah pihak telah tewas sejak perang dimulai, namun data resmi korban tetap menjadi rahasia negara. Di balik kebisuan angka, tersimpan tragedi manusia yang nyaris tak lagi dianggap penting dalam narasi nasionalisme kedua belah pihak. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bahkan sempat mengatakan pada Februari lalu bahwa Ukraina telah kehilangan lebih dari 46.000 tentara, sementara puluhan ribu lainnya masih dinyatakan hilang.
Angka-angka itu kini menjadi statistik tanpa wajah. Setiap pertukaran jenazah menegaskan bahwa yang benar-benar kalah adalah kemanusiaan itu sendiri. Rusia dan Ukraina mungkin berbeda dalam bendera, tetapi serupa dalam satu hal: mereka sama-sama mengirim anak mudanya ke kematian yang bisa dihindari.
Ketika diplomasi hanya melahirkan daftar jenazah, maka perang kehilangan segala legitimasi moralnya. Dunia menyaksikan, tetapi hanya sedikit yang berani bertanya berapa banyak lagi yang harus mati sebelum meja perundingan benar-benar menggantikan medan perang? []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan