ISLAMABAD – Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) pada Jumat (21/08/2025) mengumumkan persetujuan paket pendanaan sebesar US$410 juta atau sekitar Rp6,7 triliun untuk pengembangan tambang tembaga dan emas Reko Diq di Provinsi Balochistan, Pakistan. Persetujuan tersebut dipandang sebagai langkah penting dalam menggarap salah satu cadangan mineral terbesar dunia, sekaligus menimbulkan perhatian mengenai isu lingkungan dan hak asasi manusia.
Reko Diq, yang terletak di bagian selatan Pakistan, telah lama dikenal sebagai salah satu tambang terbuka terbesar yang belum dimanfaatkan. Proyek ini direncanakan mulai berproduksi pada 2028 dan diproyeksikan menjadi tambang tembaga terbesar kelima di dunia.
Presiden ADB Masato Kanda menilai pendanaan ini akan membawa dampak besar bagi perekonomian Pakistan. “Reko Diq akan membantu rantai pasokan mineral penting, sekaligus mendorong transisi energi bersih dan menggerakkan inovasi digital,” ujarnya dalam pernyataan resmi yang dikutip AFP. Ia menambahkan, “Paket ini adalah game-changer bagi Pakistan… menjadi landasan transisi negara menuju ekonomi yang lebih tangguh dan terdiversifikasi.”
Dari total dana yang disiapkan, sekitar US$300 juta akan disalurkan dalam bentuk pinjaman kepada perusahaan asal Kanada, Barrick, selaku pengelola utama proyek. Sementara itu, US$110 juta sisanya diberikan dalam bentuk jaminan kredit bagi pemerintah setempat.
Meski diyakini memberi keuntungan besar, proyek ini menghadapi tantangan serius karena berada di wilayah yang kerap dilanda konflik. Provinsi Balochistan selama beberapa dekade diliputi gerakan separatis, dipicu ketidakpuasan terhadap pembagian hasil sumber daya alam. Sejumlah proyek energi dan infrastruktur, terutama yang melibatkan investasi China, pernah menjadi sasaran serangan bersenjata.
Balochistan sendiri memiliki kekayaan alam berlimpah, tetapi kondisi masyarakatnya masih jauh dari sejahtera. Data menunjukkan sekitar 70 persen dari 15 juta penduduk provinsi itu hidup di bawah garis kemiskinan, sebuah ironi yang memicu gelombang ketidakpuasan sosial.
Di tengah euforia proyek ini, kritik datang dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Sedikitnya tiga lusin kelompok, termasuk MiningWatch Canada dan Asia-Pacific Network of Environmental Defenders, menuntut agar ADB maupun International Finance Corporation menunda investasinya. Mereka menegaskan, “Proyek ini berisiko memperburuk ketidakamanan bagi pembela HAM serta berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan sosial.”
Sementara itu, militer Pakistan justru semakin gencar mempromosikan potensi sumber daya mineral negara tersebut. Kepala militer bahkan memanfaatkan momentum ini untuk membuka jalur negosiasi perdagangan dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Bagi pemerintah Pakistan, Reko Diq telah lama dipandang sebagai pilar utama strategi kebangkitan ekonomi. Namun, perjalanan proyek ini tidak pernah mudah, karena diwarnai sengketa hukum, perdebatan antara pemerintah pusat dan daerah, hingga persoalan birokrasi yang berlarut-larut.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan