JAKARTA – Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp757,8 triliun dalam RAPBN 2026, mencatatkan peningkatan signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, sorotan tajam mengemuka setelah terungkap hampir setengah dana tersebut—tepatnya Rp335 triliun—dipersiapkan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menyasar 82,9 juta siswa di 300 ribu sekolah.
Anggaran pendidikan memang konsisten naik dalam lima tahun terakhir: dari Rp480,3 triliun (2022), Rp513,4 triliun (2023), Rp569,1 triliun (2024), Rp690,1 triliun (outlook 2025), hingga Rp757,8 triliun (2026). Selain MBG, alokasi lain meliputi Rp401,5 triliun untuk bantuan siswa/mahasiswa (termasuk Bidikmisi, KIP Kuliah, dan PIP), Rp178,7 triliun untuk kesejahteraan guru dan dosen, serta Rp150,1 triliun untuk pembangunan dan operasional sekolah/kampus.
Kritik pedas datang dari akun TikTok Eko Senade yang mempertanyakan efektivitas alokasi MBG. “Dana pendidikan Rp757,8 T, tapi Rp335 T atau hampir setengahnya untuk MBG. Ini benaran nggak ada satu pun menteri yang mengingatkan Presiden?” tulis Eko pada Minggu (17/08/2025). Ia menegaskan bahwa nutrisi saja tidak cukup menciptakan SDM unggul tanpa didukung sistem pendidikan holistik.
“Tanpa guru berkualitas, kurikulum yang tepat, sarana belajar, serta iklim sosial yang mendukung, makanan bergizi tidak otomatis menghasilkan anak cerdas,” tegasnya. Eko mengibaratkan program ini seperti “kelinci makan wortel setiap hari tapi tidak pintar”, menekankan bahwa MBG hanya bersifat konsumtif tanpa membangun aset jangka panjang.
Kekhawatiran utama Eko adalah minimnya porsi anggaran untuk peningkatan kualitas guru. “Saat ini, banyak guru (terutama honorer) masih bergaji rendah, bahkan di bawah UMK,” ungkapnya. Menurutnya, alokasi Rp335 triliun lebih strategis jika dialihkan ke sektor produktif seperti pengembangan edtech, industri pangan, atau kesejahteraan pendidik. “Profesi guru makin ditinggalkan orang berbakat, kualitas pendidikan jangka panjang melemah,” tambahnya.
Analisis Eko menyentuh titik krusial: apakah kebijakan ini benar-benar menjawab akar masalah pendidikan Indonesia? Data menunjukkan, meski anggaran terus membengkak, peringkat PISA Indonesia (2022) masih stagnan di bawah rata-rata OECD. Sementara itu, rasio guru-siswa dan fasilitas belajar di daerah tertinggal jauh dari ideal.
Pemerintah belum memberikan respons resmi atas kritik tersebut. Namun, debat publik ini menggarisbawahi perlunya evaluasi menyeluruh: apakah dana triliunan rupiah benar-benar menyentuh kebutuhan mendasar pendidikan, atau sekadar menjadi program populis tanpa dampak berkelanjutan?[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan