KHARTOUM — Di sebuah tenda lusuh di Tawila, 70 kilometer dari El-Fasher, Amira terbangun setiap pagi dengan tubuh gemetar dan mata kosong. Bayangan kengerian masih membekas di benaknya — pemandangan pemerkosaan massal yang ia saksikan sendiri saat melarikan diri dari kota El-Fasher, setelah kota itu jatuh ke tangan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF).
“Pemerkosaan itu merupakan pemerkosaan bergiliran. Pemerkosaan massal di depan umum, pemerkosaan di depan semua orang, dan tidak ada yang bisa menghentikannya,” ucap Amira dengan suara bergetar dalam sebuah webinar Avaaz yang mempertemukan para penyintas kekerasan.
El-Fasher, benteng terakhir militer Sudan di kawasan Darfur Barat, resmi dikuasai RSF pada 26 Oktober 2025 setelah pengepungan selama 18 bulan yang diwarnai kelaparan, pengeboman, dan kekacauan total. Sejak itu, laporan mengerikan terus berdatangan — mulai dari pembunuhan massal, kekerasan seksual, hingga serangan terhadap pekerja kemanusiaan.
Menurut laporan AFP, Rabu (05/11/2025), sebagian besar komunikasi dari kota itu terputus, membuat dunia luar sulit mengetahui sejauh mana tragedi berlangsung.
Amira, ibu empat anak, mengaku sempat ditahan dua hari di desa Korma, sekitar 40 kilometer dari El-Fasher, karena tidak mampu membayar para petempur RSF untuk mendapatkan perjalanan aman. “Bagi mereka yang tidak mampu membayar, tidak akan mendapatkan makanan, air, atau hak untuk pergi,” tuturnya.
“Anda akan tertidur dan mereka akan datang dan memperkosa Anda.”
Dengan mata berlinang, Amira mengisahkan kejadian lain yang lebih kejam. “Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, orang-orang yang tidak mampu membayar, dan para petempur mengambil anak perempuan mereka sebagai gantinya. Mereka mengatakan, ‘Karena Anda tidak mampu membayar, kami akan mengambil anak-anak perempuan Anda’. Jika Anda memiliki anak perempuan yang masih kecil, mereka akan segera mengambilnya,” ucapnya.
Tragedi ini memperlihatkan kekerasan sistematis terhadap perempuan di Darfur yang kini berada di bawah kontrol RSF. Menteri Negara untuk Kesejahteraan Sosial Sudan, Sulimah Ishaq, mengatakan kepada AFP bahwa sedikitnya 300 perempuan tewas pada hari jatuhnya El-Fasher, “beberapa di antaranya setelah mengalami kekerasan seksual.”
Sementara itu, General Coordination for Displaced People and Refugees di Darfur, melaporkan 150 kasus kekerasan seksual sejak jatuhnya El-Fasher hingga 1 November. “Beberapa insiden terjadi di El-Fasher dan yang lainnya selama perjalanan ke Tawila,” kata juru bicara kelompok tersebut, Adam Rojal.
Laporan paling mengerikan datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pekan lalu, PBB mengonfirmasi bahwa 25 perempuan diperkosa bergiliran di bawah todongan senjata ketika pasukan RSF menyerbu kamp pengungsi dekat Universitas El-Fasher. “Pemerkosaan itu dilakukan di bawah todongan senjata api,” kata Seif Magango, juru bicara kantor HAM PBB.
Kisah Amira kini menjadi simbol dari penderitaan ribuan perempuan Sudan yang hidup dalam teror di tengah perang yang kian brutal. Dunia internasional kembali diingatkan akan bayangan genosida baru di Darfur, di mana tubuh dan harga diri perempuan kembali dijadikan medan perang. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan