JAKARTA – Kasus narkoba di balik jeruji besi kembali mencoreng wajah lembaga pemasyarakatan Indonesia. Mantan artis Ammar Zoni kembali menjadi sorotan setelah ketahuan mengedarkan narkoba di dalam Rutan Salemba, Jakarta Pusat. Ironisnya, aksi ini sudah terdeteksi sejak Januari 2025 namun baru terungkap ke publik belakangan. Fakta tersebut memunculkan pertanyaan besar tentang sejauh mana efektivitas pengawasan dan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.
Kepala Rutan Salemba, Wahyu Trah Utomo, mengungkapkan bahwa penggeledahan dilakukan pada 3 Januari 2025. “Penemuan barang bukti berupa narkotika dalam kasus ini merupakan hasil dari proses deteksi dini yakni upaya penggeledahan blok hunian yang dilakukan secara rutin dipimpin oleh Kepala Kesatuan Pengamanan Rutan pada tanggal 3 Januari 2025,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (10/10/2025).
Namun, publik menilai pengakuan tersebut justru memperlihatkan betapa lemahnya sistem pengamanan di balik tembok penjara. Bila narkoba bisa beredar dan dikendalikan dari dalam sel, maka pertanyaan yang lebih serius muncul: bagaimana narkoba bisa lolos hingga ke tangan narapidana yang sudah seharusnya berada di bawah pengawasan ketat?
Wahyu menambahkan, “Sebagai konsekuensi atas pelanggaran berat terhadap tata tertib, warga binaan berinisial AZ yang pada saat itu menjadi Warga Binaan Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Pusat telah dijatuhi sanksi disiplin yakni dipindahkan ke Sel Isolasi (Straff Cell) selama 40 hari.”
Meski telah dijatuhi sanksi isolasi, publik menilai hukuman tersebut terlalu ringan jika dibandingkan dengan beratnya pelanggaran yang dilakukan, apalagi mengingat pelaku adalah residivis kasus serupa. Pihak rutan disebut sudah berkoordinasi dengan Polsek Cempaka Putih untuk penyelidikan lanjutan, dan Ammar Zoni juga dicabut haknya atas pembebasan bersyarat.
“Pihak Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Pusat pada saat kejadian sudah menyerahkan temuan narkotika kepada pihak Kepolisian Sektor Cempaka Putih untuk ditindaklanjuti secara hukum. Pihak Rutan juga bersikap kooperatif dan mendukung jalannya proses pemeriksaan,” kata Wahyu.
Namun, penegasan bahwa proses pemeriksaan berada “di luar kewenangan rutan” seolah menjadi kalimat pembelaan yang berulang. Alih-alih menunjukkan tanggung jawab, pernyataan itu mengesankan adanya budaya saling lempar tanggung jawab antar lembaga.
Dari hasil penyidikan, Ammar Zoni diketahui mengedarkan narkoba jenis sabu dan tembakau sintetis bersama lima orang lainnya, yaitu A, AP, AM alias KA, ACM, dan MR. Penyerahan barang haram itu dilakukan di dalam rutan dengan pasokan yang dikendalikan dari luar. “Berdasarkan hasil penyidikan, para tersangka memperoleh narkotika jenis sabu dan tembakau sintetis dari tersangka MAA alias AZ yang mendapatkan narkotika tersebut dari seseorang yang berada di luar Rutan Kelas I Jakarta Pusat Salemba,” kata Agung.
Ironisnya, semua ini dilakukan ketika Ammar Zoni sedang menjalani hukuman 4 tahun penjara atas kasus narkoba sebelumnya. Ia semula divonis 3 tahun, namun hukuman diperberat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 8 November 2024 setelah jaksa mengajukan banding. Kini, dengan kasus baru, peluang rehabilitasi publik figur ini semakin tipis, sekaligus menampar sistem pembinaan yang selama ini diklaim mampu mengubah perilaku narapidana.
Kasus Ammar bukan sekadar soal penyalahgunaan narkoba, tetapi juga cerminan kegagalan struktural dalam mengawasi dan membina napi di rutan kelas I yang seharusnya menjadi model ketertiban. Pertanyaannya, jika selebritas saja bisa bebas mengedarkan narkoba dari balik jeruji, bagaimana dengan ratusan narapidana lain yang tak tersorot kamera? []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan