PALANGKA RAYA – Kasus beras oplosan kembali mencuat di Kalimantan Tengah, kali ini melibatkan seorang produsen sekaligus distributor yang diduga memasarkan beras tidak sesuai standar. Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kalteng bersama Satgas Pangan berhasil membongkar praktik tersebut di Kota Palangka Raya.
Kabid Humas Polda Kalteng, Kombes Pol Erlan Munaji, mengungkapkan bahwa tersangka berinisial DAW (39) adalah pemilik sekaligus produsen beras bermerek The Best of Indonesian Premium Rice Jediar (JDR) kemasan merah. “Tersangka diduga memproduksi dan memperdagangkan beras yang tidak memenuhi standar serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” terangnya, Selasa (16/09/2025).
Pengungkapan ini bermula dari laporan polisi yang teregister pada 31 Juli 2025. Dari hasil penyelidikan, polisi menemukan ribuan kilogram beras bermerek JDR di sejumlah ritel modern di Palangka Raya, seperti KPD Swalayan di Jalan Temanggung Tilung serta Sendys di Jalan G Obos dan Jalan Ahmad Yani.
Dari lokasi tersebut, petugas menyita total 1.080 kilogram beras oplosan dengan berbagai kemasan (3 kg, 5 kg, dan 10 kg). Tak hanya itu, peralatan produksi seperti mesin sealer, timbangan digital, dan ribuan karung plastik juga diamankan sebagai barang bukti.
Dirreskrimsus Polda Kalteng, Kombes Pol Rimsyahtono, menjelaskan modus yang digunakan tersangka. DAW diketahui membeli beras dari Lumajang, Jawa Timur, dengan harga Rp14.600 per kilogram. Beras tersebut kemudian dipoles ulang, dikemas, dan dipasarkan dengan label beras premium JDR seharga Rp21.200 per kilogram.
“Padahal harga eceran tertinggi (HET) beras premium di wilayah Kalimantan zona 2 hanya Rp15.400 per kilogram. Jadi selain kualitasnya tidak memenuhi standar, harga jualnya juga jauh di atas HET,” jelasnya.
Untuk memastikan kualitas produk, Satgas Pangan Polda Kalteng menggandeng Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang. Hasil laboratorium menunjukkan beras JDR gagal memenuhi tiga indikator penting beras premium, yakni kadar butir kepala hanya 68 persen dari minimal 85 persen, kadar butir patah 30 persen dari batas maksimal 14 persen, serta butir rusak 2,7 persen dari standar maksimal 0,5 persen. “Dengan hasil tersebut, jelas beras ini tidak bisa dikategorikan premium,” tegas Rimsyahtono.
Praktik ilegal ini ternyata bukan hal baru. Berdasarkan keterangan tersangka, aktivitas pengoplosan sudah dilakukan sejak 2020. Hanya dalam periode Januari hingga Agustus 2025, lebih dari 270 ton beras dari Lumajang masuk melalui jaringan distribusi DAW. Sebagian besar diedarkan di Sidoarjo, Banjarmasin, dan Palangka Raya.
Di Palangka Raya, distribusi beras oplosan tersebut mencapai 1.432 kilogram di Sendys, sekitar 500 kilogram di sejumlah toko modern, serta 15 kilogram di kawasan Pal 12. Angka ini menunjukkan bagaimana produk oplosan mampu menyusup hingga ke pasar ritel modern, yang seharusnya menjadi tempat belanja aman bagi masyarakat.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 62 Ayat (1) jo Pasal 8 Ayat (1) huruf a dan f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara atau denda hingga Rp2 miliar.
Kasus ini sekaligus menjadi peringatan keras bagi para pelaku usaha agar tidak mengambil keuntungan dengan cara merugikan konsumen. Kebutuhan pokok, seperti beras, sangat berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi masyarakat. Manipulasi kualitas dan harga tidak hanya merugikan pembeli, tetapi juga berpotensi menimbulkan keresahan sosial.
“Kasus ini menjadi peringatan bagi para pelaku usaha agar tidak bermain-main dengan kebutuhan pokok masyarakat, apalagi dengan cara merugikan konsumen,” tutup Kombes Pol Rimsyahtono.
Dengan adanya pengungkapan kasus ini, kepolisian menegaskan komitmennya untuk terus mengawasi peredaran bahan pokok, sekaligus menjaga stabilitas harga pangan di wilayah Kalimantan Tengah. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan