Satu Ditemukan, Tiga Masih Hilang

KOTAWARINGIN TIMUR – Upaya pencarian korban tenggelamnya kapal Tug Boat Datine 138 di perairan Laut Jawa terus berlanjut. Namun, di balik kesigapan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kotawaringin Timur (Kotim), muncul pertanyaan besar: mengapa proses pencarian berjalan lambat meski operasi sudah berlangsung sejak awal pekan?

Satu jenazah yang diduga kuat merupakan korban kapal tersebut ditemukan terapung di sekitar Pantai Ujung Pandaran. Temuan itu membuka kembali sorotan terhadap sistem tanggap darurat laut yang dinilai belum optimal, meski sudah sering dihadapkan pada kejadian serupa.

Kepala Pelaksana BPBD Kotim, Multazam, mengatakan pihaknya menurunkan personel tambahan dan peralatan lengkap untuk memperkuat koordinasi dengan tim gabungan.

“BPBD Kotim menurunkan pasukan, selain saya ada empat tambahan personel. Kami juga menyiapkan dua unit kendaraan roda empat, satu unit roda dua, dan satu unit perahu karet. Semua akan standby di sepanjang pinggir pantai Ujung Pandaran,” ujarnya, Jumat (10/10/2025).

Menurut Multazam, tim BPBD juga berkoordinasi dengan Pos SAR, Basarnas, TNI AL, dan Polair dalam pencarian korban. “Tim dari Pos SAR menerima laporan kehilangan itu pada Selasa (07/10/2025) sore. Setelah menerima laporan, mereka langsung bergerak menuju perairan Pagatan untuk melakukan koordinasi di lapangan bersama unsur lainnya,” katanya.

Namun, ia tak menampik bahwa pencarian berjalan lambat. “Berarti ini hari keempat sejak laporan diterima. Kenapa lambat ditemukan, karena kondisi Laut Jawa dalam keadaan tenang,” jelasnya.

Pernyataan itu mengundang tanda tanya: bagaimana laut yang tenang justru memperlambat pencarian? Multazam menjelaskan, pergerakan arus laut yang tidak kuat membuat objek di permukaan air lambat bergerak ke pantai.

“Berdasarkan pengalaman kami, biasanya ada dorongan dari laut menuju ke darat, jadi korban cepat ditemukan di pinggir pantai. Tapi sekarang karena air laut tenang, pergerakannya lambat,” ujarnya.

Kendati demikian, publik menilai alasan cuaca tak semestinya menjadi pembenaran atas lambatnya operasi. Dalam sistem pencarian modern, koordinasi antarlembaga seharusnya lebih cepat dan efektif, apalagi di wilayah rawan seperti Kotim.

Multazam juga mengungkapkan jenazah pertama ditemukan oleh nelayan di perairan terbuka, bukan di pesisir. “Makanya jenazah pertama ditemukan nelayan di perairan, bukan terdampar di pantai. Untuk jarak pastinya dari bibir pantai, kami masih menunggu laporan teman-teman di lapangan,” jelasnya.

Selain insiden Tug Boat Datine 138, BPBD juga menerima laporan adanya kecelakaan laut lain di wilayah berdekatan. “Kami konfirmasi, informasi ini kami terima dari teman-teman Pos AL. Jadi memang ada dua kejadian di perairan itu. Tapi yang satu, yaitu kapal vessel, kami masih belum dapat informasi tambahan kapan kejadian pastinya,” ujarnya.

Situasi ini memperlihatkan lemahnya sistem deteksi dan tanggap cepat di laut Kalimantan Tengah. Ketika dua peristiwa terjadi hampir bersamaan, koordinasi lintas instansi seakan masih bergantung pada laporan manual dari nelayan.

Multazam menambahkan, “Kami masih menunggu data lengkap dari Pos AL dan tim SAR terkait jumlah orang yang hilang dan lokasi pasti kejadian. Nanti setelah kami dapatkan informasi lanjutan, akan kami sampaikan kembali.”

Sementara itu, tim gabungan dari Basarnas, Pos SAR Sampit, TNI AL, Polair, dan para nelayan masih menyisir area perairan Ujung Pandaran dan Pagatan untuk mencari tiga anak buah kapal (ABK) yang belum ditemukan.

Namun, jika operasi pencarian terus bergantung pada laporan lapangan tanpa dukungan sistem pemantauan laut yang modern, tragedi serupa bukan mustahil akan terus berulang. Dalam situasi darurat laut, keterlambatan sekecil apa pun bisa berarti kehilangan nyawa. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com