PONTIANAK – Perdebatan hukum antara ruang administrasi pemerintahan dan ranah pidana kembali mencuat dalam sidang perkara dugaan penyalahgunaan kewenangan dengan terdakwa Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Singkawang, Sumastro, di Pengadilan Negeri Pontianak, Kamis (23/10/2025).
Dalam sidang itu, tim penasihat hukum terdakwa dari Phoenix Law Office serta AAPR & Rekan membacakan eksepsi atau nota keberatan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Pontianak.
Kuasa hukum terdakwa, Dimas Fachrul Alamsyah, menegaskan bahwa semua kebijakan yang diambil kliennya tidak keluar dari koridor administrasi pemerintahan.
“Segala keputusan yang diambil Pak Sumastro dilakukan dalam rangka menjalankan tugas jabatan, sesuai mekanisme dan prosedur pemerintahan. Keputusan tersebut juga masih terbuka untuk dikoreksi oleh aparat pengawasan internal, seperti Inspektorat Daerah maupun APIP,” jelas Dimas.
Pernyataan itu seakan menegaskan posisi hukum Sumastro bukan sebagai pelaku penyimpangan, melainkan pejabat publik yang menggunakan diskresi di tengah kompleksitas birokrasi dan tekanan pemulihan ekonomi pascapandemi.
Dalam eksepsi yang dibacakan di hadapan majelis hakim, tim hukum menguraikan tujuh poin kunci. Mereka menyebut dakwaan JPU bersifat prematur, tidak cermat, dan tidak menjelaskan secara spesifik kewenangan apa yang dilanggar maupun prosedur hukum yang diabaikan.
Tim pembela juga menegaskan, tindakan Sumastro merupakan bentuk diskresi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Keputusan itu, menurut mereka, diambil dalam konteks pemulihan ekonomi daerah, bukan untuk memperkaya diri sendiri.
Selain itu, mereka menyoroti dugaan kerugian negara sebesar Rp3,142 miliar yang dianggap tidak riil.
“Kerugian negara harus bersifat nyata dan pasti, bukan sekadar potensi kehilangan penerimaan akibat keputusan manajerial yang sah,” papar Dimas.
Dalam pembelaannya, tim hukum menegaskan bahwa dugaan penyalahgunaan kewenangan yang dituduhkan lebih tepat diselesaikan dalam ranah administrasi, bukan pidana korupsi. Mereka juga menegaskan tidak ditemukan adanya niat jahat (mens rea) maupun keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut.
Tim penasihat hukum kemudian memohon agar majelis hakim mengabulkan eksepsi dan membatalkan dakwaan JPU karena dinilai cacat formil. Mereka juga meminta agar Sumastro dibebaskan dari tahanan jika keberatan tersebut diterima.
“Kami berharap majelis hakim yang mulia memberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan hukum dan keadilan,” tutup Dimas.
Sidang ini menjadi sorotan publik karena menyentuh garis tipis antara tanggung jawab pejabat publik dan kriminalisasi kebijakan. Publik menanti bagaimana majelis hakim menimbang antara etika pemerintahan dan hukum pidana dalam kasus yang berpotensi menjadi preseden bagi banyak pejabat daerah di Indonesia. []
Fajar Hidayat
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan