BOGOTA – Penembakan terhadap senator Kolombia Miguel Uribe Turbay yang berlangsung saat kampanye di Bogotá pada Sabtu (07/06) menyisakan duka dan keterkejutan publik. Dalam peristiwa yang menyebabkan Uribe Turbay mengalami luka serius, pelaku yang ditangkap oleh polisi ternyata seorang remaja berusia 15 tahun.
Rekaman dan foto penangkapan menyebar luas di media sosial, memperlihatkan seorang pemuda berambut sebahu mengenakan celana jins dan kaus hijau yang berhasil dilumpuhkan oleh aparat. Remaja itu disebut membawa senjata api Glock 9 milimeter asal Amerika Serikat, jenis senjata semi-otomatis yang umumnya digunakan aparat penegak hukum dan sulit diperoleh secara ilegal.
Presiden Gustavo Petro mengonfirmasi usia pelaku dan latar belakangnya dalam sebuah unggahan di platform X pada Senin (10/06). Ia menyebut bahwa pelaku pernah bergabung dalam program pendidikan perdamaian, tetapi memilih keluar secara sukarela. Petro menambahkan, “Pemerintah distrik sudah mengidentifikasi latar belakang konflik anak pembunuh itu.”
Media Kolombia, El Tiempo, melaporkan bahwa ketika ditangkap, remaja tersebut mengaku menerima perintah penyerangan dari seseorang yang dikenal sebagai “pria dengan panci”, julukan yang merujuk pada titik penjualan narkoba di ibu kota.
Kasus ini membuka kembali luka lama Kolombia yang selama puluhan tahun bergelut dengan kekerasan bersenjata dan keterlibatan anak-anak dalam kejahatan terorganisir. Data dari Kantor Ombudsman Kolombia menunjukkan bahwa pada tahun 2024 terdapat 409 anak-anak yang direkrut oleh kelompok kriminal, meningkat dari 342 kasus pada tahun sebelumnya.
Menurut sejumlah pakar, perekrutan anak di bawah umur kerap terjadi di daerah-daerah miskin dan rawan konflik di Kolombia, baik perkotaan maupun pedesaan. “Mereka adalah pekerja murah, mudah diganti. Karena mudah dibentuk, mereka sering diberi tugas mengerikan seperti memutilasi,” ujar Max Yuri dari Universitas Antioquia.
Sejarah kelam keterlibatan anak-anak dalam konflik bersenjata Kolombia bukan hal baru. Pada era 1980-an, anak-anak remaja dijadikan pembunuh bayaran oleh kartel narkoba, termasuk dalam jaringan yang dipimpin oleh Pablo Escobar. Salah satu sosok terkenal adalah John Jairo Arias Tascón alias “Pinina” yang mulai menjadi pembunuh sejak usia 15 tahun dan terlibat dalam pembunuhan besar, termasuk Menteri Kehakiman Rodrigo Lara Bonilla dan insiden peledakan pesawat Avianca 203.
Di tahun yang sama, seorang remaja berusia 14 tahun menembak mati calon presiden Bernardo Jaramillo Ossa, sementara pembunuhan terhadap Carlos Pizarro Leongómez melibatkan seorang pemuda bernama Yerry, yang kemudian diketahui dilatih oleh kelompok paramiliter dengan bantuan aparat negara yang korup.
Meski perjanjian damai dengan FARC-Ep diteken pada 2016, konflik belum usai. Kelompok bersenjata baru dan yang membelot dari perjanjian damai tetap aktif, termasuk Tentara Pembebasan Nasional (ELN) dan Klan Teluk yang dianggap pemerintah sebagai sindikat kriminal terbesar di negara tersebut.
Badan Peradilan Khusus Perdamaian memperkirakan lebih dari 18.000 anak telah direkrut oleh FARC-Ep dalam kurun 1996 hingga 2016. Metode perekrutan pun kini semakin canggih, termasuk penggunaan media sosial seperti TikTok.
Kondisi ini diperparah dengan lemahnya perlindungan hukum terhadap anak dan celah dalam sistem peradilan remaja Kolombia. “Sistem pidana remaja adalah salah satu kendala terbesar di Kolombia,” ujar Jorge Mantilla, pakar kriminologi dari University of Illinois.
Pada 2024, terdapat 1.953 laporan anak hilang di Kolombia. Lebih dari separuhnya belum ditemukan, dan sebagian besar diyakini direkrut secara paksa. Wilayah Cauca menjadi titik paling rentan, mencatatkan 300 kasus anak direkrut sepanjang tahun ini.
Konflik yang terus berlanjut serta ketimpangan sosial menjadi pemicu utama siklus kekerasan ini. Tanpa upaya sistematis untuk melindungi anak-anak dan mereformasi sistem hukum, Kolombia berisiko terus kehilangan generasi muda kepada lingkaran kekerasan yang tak berkesudahan. []
Redaksi11