KUTAI KARTANEGARA – Sengketa pemortalan akses lahan yang melibatkan PT Budi Duta Agro Makmur (BDA) dengan sejumlah perwakilan masyarakat adat di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) memasuki babak baru. Persoalan yang telah berlangsung hampir sebulan lebih ini tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi juga berimbas langsung pada ribuan pekerja dan keluarganya.
Manajemen PT BDA menegaskan bahwa pihaknya tidak ingin memperpanjang ketegangan. Perusahaan menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian kepada Pemerintah Kabupaten Kukar bersama jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Hal itu disampaikan oleh Manager Humas PT BDA, Evan Maradona, usai menghadiri pertemuan dengan Bupati Kukar, Aulia Rahman Basri, di Rumah Jabatan Bupati, Sabtu malam (20/09/2025). Pertemuan tersebut turut dihadiri unsur Forkopimda, perwakilan Dewan Adat Dayak Kalimantan Timur (DADKT), Forum Adat Kaltim, serta sejumlah kepala adat dari delapan desa sekitar konsesi perusahaan.
Evan menjelaskan, aktivitas operasional PT BDA telah terhenti total lebih dari 25 hari akibat pemortalan akses menuju kantor, perkebunan, hingga koperasi karyawan. Kondisi ini memicu kerugian besar yang ditaksir mencapai Rp20 miliar. “Buruh harian dan borongan paling terdampak. Mereka tidak bisa bekerja, otomatis tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau dibiarkan berlarut-larut, dampak sosialnya akan semakin besar,” tegasnya.
Menurut Evan, dampak tersebut dirasakan langsung oleh sekitar 1.000 pekerja yang sebagian besar berasal dari warga lokal dengan latar belakang beragam, mulai dari Dayak, Kutai, Banjar, hingga Jawa. Mereka yang selama ini menggantungkan hidup dari pekerjaan di perusahaan kini kehilangan penghasilan. Tak sedikit pekerja mendesak agar portal segera dibuka sehingga aktivitas perusahaan dapat kembali berjalan normal.
Namun, di sisi lain, Evan mengaku bingung dengan tuntutan kelompok masyarakat adat yang dipimpin Sahbudin dan Thomas Fasenga. Ia menilai, perusahaan sejatinya sudah berupaya memberikan perhatian kepada warga melalui program tali kasih. Berdasarkan catatan perusahaan, lebih dari Rp3 miliar telah disalurkan langsung kepada ratusan masyarakat penggarap. “Tahun lalu saja, uang sebesar Rp450 juta sudah diberikan. Jadi kalau tuntutan ini terus dilanjutkan, apa dasarnya? Karena itu, kami berharap pemerintah bisa bersikap tegas dan adil,” ungkap Evan.
Evan menambahkan, PT BDA tetap membuka ruang dialog dan berkomitmen menyelesaikan konflik melalui mekanisme hukum yang berlaku. Perusahaan, lanjutnya, tidak menginginkan adanya tindakan intimidasi maupun sweeping terhadap karyawan yang hanya berniat mencari nafkah. “Kami percaya, dengan komunikasi yang baik difasilitasi pemerintah, masalah ini bisa selesai. Semua pihak tentu ingin solusi, bukan perpecahan,” ujarnya.
Pertemuan lanjutan antara pemerintah, perusahaan, dan perwakilan masyarakat adat dijadwalkan digelar pada Kamis mendatang. Manajemen PT BDA berharap agenda tersebut bisa menjadi titik terang menuju kesepakatan bersama. Pemerintah daerah pun diharapkan mampu menjalankan peran sebagai mediator yang netral dan efektif, agar ketegangan tidak melebar dan stabilitas sosial tetap terjaga.
Situasi ini mendapat sorotan karena tidak hanya menyangkut hak kelola perusahaan dan masyarakat adat, tetapi juga menyentuh aspek ketenagakerjaan, keberlangsungan ekonomi lokal, serta hubungan sosial antarwarga. Dengan keterlibatan pemerintah dan lembaga adat, diharapkan tercipta penyelesaian yang adil tanpa mengorbankan salah satu pihak. []
Penulis: Jemi Irlanda Haikal | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan