KUTAI TIMUR – Tragedi tenggelamnya perahu di Sungai Meratak, Desa Tepian Langsat, Kecamatan Bengalon, Kutai Timur, kembali menorehkan duka dan sekaligus membuka pertanyaan lama tentang lemahnya keselamatan transportasi sungai di daerah. Setelah tiga hari pencarian tanpa henti, Tim SAR Gabungan akhirnya menemukan dua korban dalam kondisi tak bernyawa pada Kamis (09/10/2025).
Kapolsek Bengalon, AKP Asriadi, mengonfirmasi, korban pertama bernama Helmiana Neri (37) ditemukan sekitar pukul 13.30 Wita, berjarak sekitar 1.500 meter dari lokasi awal kapal terbalik. “Alhamdulillah, seluruh korban berhasil ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Evakuasi dilakukan dengan perahu karet sejauh lebih dari 2 kilometer dari titik awal kejadian,” ujarnya.
Tak lama kemudian, sekitar pukul 18.10 Wita, korban kedua Marsel Jekson Fani (38) ditemukan 2.300 meter dari arah hulu ke hilir Sungai Meratak. Kedua jenazah langsung diserahkan kepada keluarga untuk dimakamkan di Desa Tepian Langsat.
Namun di balik keberhasilan pencarian ini, muncul sorotan terhadap minimnya pengawasan keselamatan di jalur sungai pedalaman Kutim. Perahu yang ditumpangi ketiga petani itu diketahui membawa hasil kebun, namun tak memiliki perlengkapan keselamatan memadai. Tragedi itu terjadi Senin (06/10/2025) sekitar pukul 17.00 Wita, saat perahu menabrak batang kayu hanyut hingga terbalik di tengah arus deras.
Satu penumpang selamat, sementara dua lainnya tenggelam dan baru ditemukan setelah tiga hari pencarian penuh risiko. Tim SAR Gabungan yang terdiri dari Polair, SAR Sangatta, BPBD Kutai Timur, Koramil Bengalon, Disdamkartan Kutim, serta relawan, berjibaku di bawah cuaca ekstrem dan arus deras.
Meski kerja keras mereka patut diapresiasi, publik mempertanyakan sejauh mana pemerintah daerah hadir dalam mencegah tragedi serupa. Sungai Meratak bukan jalur baru bagi masyarakat pedalaman. Aktivitas transportasi menggunakan perahu sudah berlangsung lama tanpa dukungan fasilitas keamanan dasar, seperti pelampung, papan peringatan, atau pengawasan.
Kapolres Kutai Timur, AKBP Fauzan Arianto, menyampaikan apresiasi atas kerja sama lintas instansi dan warga yang ikut membantu pencarian. “Terutama saat debit air meningkat. Peristiwa ini agar menjadi pembelajaran agar tidak terjadi lagi musibah serupa,” ujarnya.
Namun pernyataan itu justru menegaskan lemahnya sistem pencegahan. Tragedi ini seolah menjadi rutinitas tahunan yang hanya berujung pada ucapan “pembelajaran”, tanpa ada perubahan nyata di lapangan. Masyarakat di pedalaman masih menanggung risiko tinggi karena keterbatasan infrastruktur dan pengawasan transportasi air yang minim.
Tragedi Sungai Meratak seharusnya menjadi alarm keras bagi Pemkab Kutai Timur dan instansi terkait untuk tidak hanya bergerak saat korban sudah meninggal. Keselamatan warga bukan hanya urusan SAR, tetapi tanggung jawab moral dan administratif pemerintah dalam memastikan moda transportasi tradisional tetap aman digunakan. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan