JAKARTA – Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta pada Kamis (20/03/2025). Meskipun demikian, pengesahan ini menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai pihak yang khawatir terhadap dampaknya terhadap kebebasan digital.
Digital Democracy Resilience Network (DDRN), sebuah koalisi masyarakat sipil yang fokus pada isu demokrasi digital, menyatakan penolakan keras terhadap draf final RUU TNI yang disetujui DPR. Mereka menilai revisi ini berpotensi mengancam kebebasan berekspresi, hak atas privasi, dan hak atas informasi di ruang digital. Koalisi ini, yang terdiri dari berbagai organisasi, termasuk Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), mengkhawatirkan militerisasi ruang siber.
Salah satu ketentuan yang menjadi sorotan adalah perluasan tugas TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang mencakup ancaman siber. Dalam dokumen final RUU TNI, Pasal 7 ayat 2b menyebutkan bahwa salah satu tugas TNI adalah membantu menanggulangi ancaman pertahanan siber, yang dinilai sebagai langkah menuju militerisasi dunia digital. Selain itu, Pasal 47 ayat 1 memberikan kesempatan bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki posisi di lembaga sipil terkait, seperti Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN) atau Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
SAFEnet menilai bahwa perluasan kewenangan ini dapat menyebabkan tumpang tindih dengan tugas aparat penegak hukum (APH), yang selama ini menangani isu terkait kebebasan berbicara dan pelanggaran hukum di dunia siber. Mereka mengingatkan bahwa pengaruh militer di ruang siber dapat berpotensi membatasi kebebasan informasi dan mengancam hak-hak digital warga negara.
Lebih lanjut, DDRN mengkritik rumusan pasal tersebut yang dinilai terlalu luas dan dapat disalahgunakan. Mereka khawatir perluasan OMSP akan membuka peluang bagi pemerintah untuk melakukan kebijakan koersif, seperti pembatasan informasi, pemblokiran situs, dan pengetatan regulasi ekspresi online.
Namun, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, membantah bahwa klausul dalam RUU TNI tersebut akan mengancam kebebasan di ruang digital. Menurutnya, penambahan kewenangan ini hanya bertujuan untuk menangani ancaman siber yang berfokus pada infrastruktur digital negara. “Operasi militer di dunia siber ini hanya akan berkaitan dengan serangan terhadap instansi dan infrastruktur digital negara,” ujar Dave dalam keterangannya pada Jumat (21/03/2025).
Dave juga menekankan bahwa penegakan hukum di ruang siber tetap menjadi tugas aparat penegak hukum, bukan TNI. Ia menjelaskan bahwa istilah “pertahanan siber” yang digunakan dalam revisi UU TNI lebih tepat daripada “keamanan siber”, dan ia meyakini bahwa pertahanan siber diperlukan untuk melindungi negara dari ancaman digital yang semakin meningkat.
Dalam konteks ini, Dave menilai bahwa TNI harus bertransformasi dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital untuk menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks. Ia menambahkan bahwa ancaman siber terhadap sistem pemerintahan semakin meningkat, dan TNI perlu memainkan peran dalam menghadapinya. “Ini menjadi tugas TNI di era digitalisasi, agar dapat bertransformasi diri menghadapi serangan tersebut,” tutup Dave.
Meskipun pengesahan revisi UU TNI ini diharapkan dapat memperkuat pertahanan siber, kekhawatiran akan dampaknya terhadap kebebasan digital dan supremasi sipil tetap menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat sipil dan pengamat. []
Redaksi03