TANJUNG SELOR – Sidak yang dilakukan Tim Satgas Pangan Kalimantan Utara (Kaltara) di Pasar Induk Tanjung Selor pada Rabu (22/10/2025) kembali membuka kenyataan lama: pemerintah masih belum punya cara efektif mengendalikan harga beras di lapangan.
Sidak yang dipimpin Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Kaltara, Hasriyani, bersama perwakilan Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Polda Kaltara, seolah menjadi rutinitas simbolik tanpa hasil konkret. Pemeriksaan, pencatatan harga, hingga ancaman sanksi bagi pedagang kembali terdengar namun harga tetap tinggi dan daya beli masyarakat kian melemah.
Tim menemukan harga beras premium di pasar mencapai Rp90 ribu per karung isi 5 kilogram, atau sekitar Rp18 ribu per kilogram. Angka ini jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp15.400 per kilogram. Ironisnya, para pedagang mengaku tidak menikmati margin keuntungan yang besar dari harga itu.
“Untuk yang 5 kilogram (beras premium) itu kita jual Rp90 ribu,” ujar salah satu pedagang di Pasar Induk Tanjung Selor.
Ia menegaskan, keuntungan bersih dari setiap karung hanya sekitar Rp3 ribu hingga Rp5 ribu. “Untung kita itu paling Rp3 ribu atau Rp5 ribu. Paling tinggi susah Rp5 ribu. Karena kita tidak bisa juga kasih harga tinggi, pasti tinggal. Tidak dibeli orang,” katanya dengan nada pasrah.
Pernyataan pedagang ini menggambarkan bahwa kenaikan harga bukan semata disebabkan oleh permainan di tingkat pengecer, melainkan karena rantai pasok yang panjang dan lemahnya pengawasan distribusi di tingkat atas. Pedagang kecil justru menjadi pihak yang sering disalahkan, padahal akar masalahnya bisa jadi ada pada biaya distribusi, keterbatasan stok, dan kebijakan logistik pangan yang tidak efisien.
Hasriyani mengingatkan bahwa HET untuk beras premium telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp15.400 per kilogram, sedangkan untuk beras medium Rp14.000 per kilogram. Ia menegaskan, “Kalau ini tidak dijalankan, sanksinya bisa pencabutan izin dan bisa pidana.”
Namun, pernyataan tegas tersebut memunculkan pertanyaan: apakah mengancam pedagang kecil adalah solusi yang adil? Pemerintah seolah abai terhadap faktor struktural yang menyebabkan kenaikan harga. Jika distribusi dari produsen ke pasar tak terkendali, ancaman sanksi hanya akan menjadi retorika tanpa perubahan nyata.
Kenaikan harga beras di Tanjung Selor juga menunjukkan lemahnya koordinasi antara pemerintah daerah, lembaga pangan nasional, dan aparat penegak hukum. Sidak hanya jadi tontonan sesaat yang berakhir dengan pemberitaan tanpa dampak jangka panjang. Sementara masyarakat terus menanggung beban inflasi pangan yang tak kunjung reda.
Tanpa langkah serius memperbaiki sistem distribusi dan memperkuat cadangan pangan di tingkat daerah, sidak-sidak seperti ini hanya akan menjadi “ritual tahunan” tanpa makna. Pemerintah harus berani meninjau ulang kebijakan harga dan jalur distribusi beras agar tidak sekadar menegur pedagang kecil, tapi menuntaskan masalah dari hulunya. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan