Solidaritas Advokat Pontianak: Tolak Kriminalisasi Profesi Hukum

PONTIANAK – Gelombang solidaritas muncul dari kalangan advokat di Kota Pontianak. Sebanyak 15 advokat senior yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Pontianak resmi mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap Kapolresta Pontianak. Gugatan tersebut dilayangkan menyusul penetapan Advokat Daniel Teguh Pradana Sinaga sebagai tersangka oleh penyidik kepolisian.

Berdasarkan catatan resmi Pengadilan Negeri Pontianak, perkara ini terdaftar dengan Nomor 12/PID.PRA/2025/PN-PTK tanggal 7 Oktober 2025. Sidang perdana dijadwalkan digelar pada 17 Oktober 2025 pukul 09.00 WIB.

Ke-15 advokat yang menjadi pemohon praperadilan antara lain: Agus Adam P. Ritonga, Agustinus Ambo Mangan, Agatha Anida, Roslaini Sitompul, Dwi Syafriyanti, Fahrurrazi, Fitriani, Marianus, William Manullang, Sumardi, Sundar Antonius Manurung, Frans Rajabala Wuwur, Jesaya Lumban Tobing, Nurlela, dan Syarif Kurniawan.

Menurut salah satu advokat senior, Agustinus Ambo Mangan, langkah hukum ini merupakan bentuk keprihatinan dan tanggung jawab moral terhadap profesi. “Kami prihatin. Advokat yang sedang menjalankan tugasnya justru ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Kecuali jika seorang advokat melakukan pelanggaran di luar konteks pembelaan terhadap kliennya, itu baru bisa diproses,” tegas Ambo Mangan.

Daniel Teguh Pradana Sinaga, dalam keterangan tertulisnya, membenarkan bahwa ia mendapatkan pendampingan hukum dari 15 rekannya sesama advokat. “Saya mohon dukungan kawan-kawan media untuk memantau jalannya persidangan. Saya merasa telah dikriminalisasi oleh Kapolresta Pontianak dengan tuduhan yang tidak berdasar hukum,” ujarnya, Kamis (16/10).

Ia menilai penetapan dirinya sebagai tersangka melanggar Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menegaskan bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata atas tindakan profesionalnya sepanjang dilakukan dengan itikad baik. “Ketentuan itu juga diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 tanggal 14 Mei 2014,” imbuhnya.

Daniel menjelaskan, persoalan ini bermula ketika ia bertugas sebagai anggota tim kuasa hukum dalam perkara perdata yang disidangkan secara elektronik melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) milik Mahkamah Agung RI. Namun, ia kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Polresta Pontianak atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik.

“Yang membuat saya heran, saya ditetapkan tersangka hanya seorang diri, padahal yang menandatangani dokumen adalah tim kuasa hukum,” ujarnya.

Daniel memaparkan bahwa materi laporan yang menjadi dasar penetapan tersangka ialah dokumen Kontra Memori Kasasi, yang ia buat dan tanda tangani bersama Advokat Klara Dawi, S.H., M.H., dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum pihak tergugat. Dokumen itu dikirim resmi melalui sistem e-Court Mahkamah Agung RI.

“Laporan itu diajukan oleh advokat lawan kami dalam perkara tersebut. Padahal isi laporan adalah dokumen resmi yang merupakan bagian dari proses hukum yang masih berjalan,” jelas Daniel.

Ia menilai langkah penyidik Polresta Pontianak yang memproses laporan tersebut sebagai bentuk kriminalisasi terhadap profesi advokat. “Dasar laporannya adalah kontra memori kasasi yang kami kirimkan melalui e-Court. Bukan pernyataan publik, bukan juga unggahan di media sosial. Tapi anehnya, laporan itu diproses dan saya dijadikan tersangka. Ini sungguh janggal,” katanya menegaskan.

Kasus yang menimpa Daniel berawal dari tugasnya sebagai kuasa hukum ORDO SAUDARA DINA KAPUSIN PROPINSI SANTA MARIA RATU PARA MALAIKAT PONTIANAK dan KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK, yang merupakan pihak tergugat dalam perkara perdata. Ia dan timnya mengajukan Kontra Memori Kasasi terhadap permohonan kasasi pihak lawan pada 21 Desember 2024 melalui sistem peradilan elektronik Mahkamah Agung RI.

Namun, kuasa hukum pihak pemohon kasasi menganggap isi kontra memori tersebut menyinggung dan melaporkannya ke Polresta Pontianak dengan tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE dan Pasal 311 KUHP.

Daniel menilai laporan tersebut cacat hukum. Ia menjelaskan bahwa sistem e-Court bersifat tertutup dan hanya dapat diakses oleh pihak yang terdaftar dalam perkara. “Laporan yang mendalilkan adanya tindak pidana di ruang publik seperti kafe jelas tidak sesuai fakta,” katanya.

Kronologi kasus menunjukkan bahwa pada 20 Mei 2025 Polresta Pontianak menerbitkan SPDP kepada Kejaksaan Negeri Pontianak. Namun, Kejari kemudian mengembalikan SPDP itu pada 11 September 2025 karena hasil penyidikan tidak kunjung diserahkan. Secara hukum, SPDP tersebut dinyatakan gugur. Meski demikian, penyidik tetap mengeluarkan surat penetapan tersangka pada 22 September 2025.

DPC PERADI Pontianak melalui bidang Pembelaan Organisasi dan Anggota telah melakukan pemeriksaan kode etik terhadap Daniel dan Klara Dawi. Hasilnya, tidak ditemukan pelanggaran kode etik dalam tindakan keduanya. Surat hasil pemeriksaan yang disampaikan ke Polresta Pontianak bahkan tidak direspons.

Daniel menilai penetapan dirinya sebagai tersangka adalah tindakan sewenang-wenang dan dapat menjadi preseden buruk bagi dunia hukum. “Ini adalah malapetaka bagi profesi advokat sebagai officium nobile, profesi yang terhormat. Baru kali ini seorang advokat dikriminalisasi hanya karena menjalankan tugas profesinya secara sah dan beritikad baik,” ujarnya.

Melalui gugatan praperadilan, Daniel bersama rekan-rekan advokat menuntut pengujian keabsahan penetapan tersangka yang dilakukan penyidik Polresta Pontianak. Ia menegaskan bahwa langkah ini bertujuan untuk menjaga kehormatan dan independensi advokat di Indonesia.

“Kasus ini bukan hanya soal saya pribadi. Ini adalah bentuk pelecehan terhadap profesi advokat. Hari ini saya yang menjadi korban, besok bisa saja advokat lain yang mengalami hal serupa,” ucap Daniel.

Ia berharap Kepolisian Republik Indonesia menjunjung prinsip due process of law dan menghormati imunitas profesi advokat sebagaimana diatur undang-undang. Daniel juga meminta agar pejabat penyidik yang diduga melakukan kesalahan ditindak sesuai aturan hukum yang berlaku.

“Seluruh organisasi advokat di Indonesia harus bersatu menjaga kehormatan profesi dan menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap advokat,” tegasnya. []

Fajar Hidayat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com