JAKARTA – Katrina Muhardi, salah satu legenda sepak bola putri Indonesia, mengungkapkan kisah perjalanan panjangnya sebagai pesepakbola yang memulai karier di tengah keterbatasan. Sebagai salah satu perintis Timnas Putri Indonesia, Katrina merasa bangga dan bersyukur dapat berkontribusi pada perkembangan sepak bola wanita di tanah air, meski cabang olahraga ini belum populer saat itu.
Katrina tidak pernah bercita-cita menjadi atlet sepak bola. Sejak kecil, ia lebih tertarik dengan atletik dan pernah menjadi anggota tim bayangan Pekan Olahraga Nasional (PON) DKI Jakarta di nomor 400 dan 800 meter putri. Namun, nasib membawanya ke dunia sepak bola pada tahun 1968, saat ia diajak bergabung dengan tim sepak bola remaja Buana Putri. Meskipun awalnya hanya iseng, Katrina segera jatuh cinta dengan olahraga ini.
“Saya memilih sepak bola karena olahraga ini tidak membosankan. Akhirnya, saya keluar dari tim atletik dan fokus sepenuhnya pada sepak bola,” kenang Katrina. Keputusan tersebut membuatnya harus memulai dari awal, belajar teknik dasar sepak bola, hingga akhirnya menempati posisi pemain sayap di Buana Putri yang baru dibentuk pada 1969.
Seiring berjalannya waktu, Buana Putri mulai bertanding dalam turnamen dan uji coba melawan klub-klub sepak bola putri di Indonesia, seperti Putri Priangan dari Bandung. Meskipun awalnya kalah, tim ini perlahan mulai menunjukkan kemajuan dan akhirnya berhasil mengalahkan lawan-lawan mereka. Katrina yang memiliki kecepatan sebagai bekal dari atletik, menjadi salah satu pemain inti yang diandalkan.
Katrina kemudian terpilih untuk bergabung dengan Timnas Putri Indonesia, yang saat itu belum mendapat dukungan maksimal dari PSSI. “Meskipun kondisi belum memungkinkan untuk dikelola secara profesional, bermain untuk Timnas Putri Indonesia adalah pengalaman yang tak ternilai,” ujarnya.
Karier internasionalnya dimulai pada 1977 ketika Indonesia tampil di ajang Nation Ladies Football di Taiwan. Meskipun hanya finis di posisi keempat, pengalaman tersebut menjadi salah satu momen tak terlupakan dalam karier Katrina. “Itu adalah kali pertama kami bermain di luar negeri, dan meski kami tidak didanai oleh PSSI, kami bangga bisa membawa nama Indonesia,” kata Katrina.
Selain prestasi di level internasional, Katrina juga turut memperkuat Timnas Putri Indonesia di beberapa edisi ASEAN Cup, yang kini dikenal sebagai Piala AFF Putri, meski selalu kalah dari Thailand yang saat itu memiliki banyak pemain dari kalangan tentara.
Setelah pensiun dari Timnas pada 1986, Katrina masih aktif bermain di Buana Putri hingga usia hampir 50 tahun dan memenangkan berbagai turnamen lokal. Namun, harapan besar masih ia miliki untuk sepak bola putri Indonesia. Saat ini, meskipun sudah tidak berkarier sebagai pelatih, Katrina berharap agar kompetisi sepak bola putri di Indonesia semakin berkembang.
“Saya berharap PSSI memberikan perhatian lebih terhadap sepak bola putri, termasuk menjadikan Liga 1 Putri sebagai liga yang rutin dengan sistem kontrak yang jelas untuk para pemain. Kami perlu mendukung potensi pemain di daerah agar mereka bisa berkembang,” harapnya.
Katrina juga menyuarakan harapan agar PSSI tidak hanya memperhatikan sepak bola putra, tetapi juga menghargai para mantan pemain timnas putri yang telah berjuang untuk sepak bola Indonesia. “Kami ingin diperlakukan sama, tidak ada perbedaan antara pemain putra dan putri,” ujarnya.
Melihat perubahan yang terjadi, Katrina merasa bangga bahwa kini sepak bola putri Indonesia mulai mendapatkan perhatian yang lebih besar. Namun, ia tetap berharap agar masa depan sepak bola wanita di Indonesia dapat lebih profesional dan terkelola dengan baik, demi menghasilkan talenta-talenta muda yang berkualitas. []
Redaksi03