SAMARINDA – Di tengah persaingan ketat kuliner ibu kota Kalimantan Timur (Kaltim), satu warung sederhana justru mencuri perhatian para pencinta kuliner tradisional. Soto Banjar Ayam Kampung “Targhibul Ikhwan”, racikan tangan Hj Eka, menjelma menjadi ikon rasa khas Banjar yang menggugah selera warga Samarinda.
Didirikan sejak tahun 2016, rumah makan ini berawal dari kecintaan Hj Eka terhadap resep turun-temurun keluarganya yang berasal dari Kalimantan Selatan. Ia tak ingin cita rasa asli Banjar luntur oleh tren kuliner modern. “Saya ingin menghadirkan soto yang benar-benar otentik, seperti yang dibuat ibu saya dulu,” ujarnya suatu waktu.

Meski tampil sederhana, warung ini memancarkan aroma rempah yang khas. Pengunjung yang datang ke Jalan Kapten Soedjono, Sungai Kapih, Sambutan, disambut pemandangan dapur terbuka yang menyiapkan soto ayam kampung dengan kuah bening gurih.
Poni, penanggung jawab operasional restoran, menegaskan bahwa resep yang digunakan bukan sekadar adaptasi. “Kami memang beda dari yang lain. Bumbunya langsung dari Banjar, bukan modifikasi. Keistimewaan kami ada pada cara penyajian soto di piring, memakai ayam kampung, dan telur bebek,” ujarnya pada Sabtu, (11/10/2025).
Menu andalan mereka, Soto Banjar Ketupat, dibanderol Rp30.000 per porsi. Selain itu, tersedia juga bakso Rp15.000 dan lalapan ayam kampung, ayam potong, gurame, nila, hingga lele dengan harga antara Rp25.000 hingga Rp50.000 — semuanya sudah termasuk nasi dan pajak.
“Harga satu porsi soto Banjar Rp30 ribu sudah termasuk pajak, tersedia juga bakso mulai Rp15 ribu, dan lalapan dari Rp25 ribu sampai Rp50 ribu sudah include nasi,” tutur Hj Eka yang akrab disapa Bulek Soto.
Tak hanya soal rasa, manajemen restoran juga memperhatikan kenyamanan pelanggan. Mereka buka setiap hari pukul 06.00–22.00 WITA, dan khusus malam Minggu hingga pukul 23.00. Pelanggan pun dapat memesan melalui layanan daring. “Kami sudah kerja sama dengan GoFood agar pelanggan bisa menikmati soto kami dari rumah,” tambahnya.
Soto Banjar “Targhibul Ikhwan” bukan sekadar tempat makan, melainkan simbol perlawanan terhadap tren kuliner instan. Di tengah derasnya gempuran makanan cepat saji, Hj Eka dan timnya membuktikan bahwa cita rasa warisan daerah masih bisa berjaya dengan mempertahankan keaslian dan dedikasi terhadap tradisi. []
Penulis : Guntur Riyadi | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan