JAKARTA – Kasus pencurian kendaraan bermotor (curanmor) antarpulau yang dibongkar Polres Metro Jakarta Utara menyoroti persoalan klasik: lemahnya pengawasan terhadap sektor jasa pengiriman. Modus pelaku yang dengan mudah memanfaatkan jaringan ekspedisi untuk mengirim motor curian menunjukkan celah besar dalam sistem kontrol dan penegakan hukum di lapangan.
Polisi berhasil menangkap lima orang pelaku dalam pengungkapan kasus curanmor pada 6 Agustus 2025. Para tersangka terdiri dari pelaku utama hingga oknum kurir jasa ekspedisi. Dari hasil penggerebekan, aparat menemukan puluhan unit motor hasil curian yang dikirim lintas provinsi.
Wakapolres Metro Jakarta Utara AKBP James H Hutajulu menjelaskan, “Kelima orang tersebut, berinisial RS, R, Z, S, dan L, memiliki peran masing-masing. RS berperan sebagai penadah, sementara R dan Z bertugas mengirimkan motor ke ekspedisi,” ujarnya, Rabu (08/10/2025).
Namun yang paling mengejutkan, dua di antara pelaku yang ditangkap merupakan petugas jasa ekspedisi resmi. “Adapun S dan L adalah petugas ekspedisi yang membantu pengiriman ke Jambi,” ungkap James.
Keterlibatan oknum ekspedisi menegaskan lemahnya pengawasan internal di perusahaan logistik, yang semestinya memiliki sistem ketat dalam menerima pengiriman kendaraan bermotor. Tak hanya itu, keberhasilan jaringan ini mengirim motor curian hingga ke luar pulau menunjukkan adanya kelengahan di titik pemeriksaan transportasi.
Kasat Reskrim Polres Jakut Kompol Onkoseno Grandiarso Sukahar menjelaskan, sejumlah motor curian disimpan di gudang ekspedisi sebelum dikirim ke luar Jawa. “Itu dia oknum, jadi bergerak sendiri dengan modus menggunakan STNK palsu pada saat pengiriman ke luar pulau,” katanya.
Polisi menemukan total 43 unit motor hasil curian, termasuk beberapa kendaraan jenis Vespa. Dari hasil pemeriksaan, motor-motor tersebut dijual dengan harga murah antara Rp6–8 juta di wilayah Sumatera.
“Dari pengembangan tersebut, kami berhasil mengamankan 38 kendaraan bermotor lainnya, sehingga total ada 43 unit yang kami sita,” ujar Onkoseno.
Lebih jauh, polisi mendapati jaringan ini sudah terorganisir dengan rapi. Mereka memalsukan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) untuk melancarkan aksi. “Untuk memuluskan aksinya itu, kan kalau ngirim harus ada STNK-nya. Dia mendapatkan STNK palsu, terus datanya juga palsu,” terang Onkoseno.
Ironisnya, kasus semacam ini bukan hal baru. Sindikat curanmor sering memanfaatkan kelengahan pengawasan antarinstansi, baik di kepolisian, ekspedisi, maupun pelabuhan. Modus pengiriman menggunakan dokumen palsu seharusnya bisa terdeteksi lebih awal jika sistem verifikasi berbasis data kendaraan benar-benar dijalankan.
Kejadian ini sekaligus menjadi peringatan bagi aparat dan perusahaan logistik untuk memperketat proses identifikasi barang kiriman. Sebab jika pengawasan masih sebatas administratif tanpa sistem digital terpadu, jaringan kriminal akan terus menemukan celah. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan